Thursday, November 12, 2009

Kemenangan Democrat Party of Japan (DPJ): Arah Baru Kebijakan Pemerintahan Jepang

Baru beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Agustus 2009, Jepang melaksanakan Pemilihan Majelis Rendah Jepang. Pemilihan yang diadakan kembali setelah tahun 2003 tersebut, memberikan momentum kemenangan tersendiri bagi partai oposisi Jepang, yaitu Democrat Party of Japan (DPJ), yang untuk pertama kali dalam sejarah pemerintahan Jepang mampu memenangi mayoritas Majelis Rendah Jepang. Kemenangan partai oposisi tersebut sekaligus memaksa partai yang berkuasa sejak 54 tahun terakhir, yaitu Liberal Democratic Party (LDP), untuk memberikan mandat kekuasaannya kepada DPJ. Bukanlah sesuatu yang tabu lagi, bahwa sebelumnya partai oposisi Jepang tersebut telah memenangi suara mayoritas pula di Majelis Tinggi Jepang, pada Pemilihan Majelis Tinggi Jepang di bulan Juli 2007. Namun, kemenangan pada Majelis Tinggi Jepang masih belum mampu mengantarkan pemimpin politik DPJ pada waktu itu, yaitu Ichiro Ozawa, dalam mengambil alih kepemimpinan negara. Hal ini dikarenakan pada tahun 2007, LDP masih menguasai suara mayoritas penuh Majelis Rendah Jepang.
Berhasilnya DPJ dalam mengambil alih kepemimpinan pemerintahan Jepang, mengantarkan Presiden DPJ, Yukio Hatoyama, sebagai Perdana Menteri Jepang sejak 16 September 2009, menggantikan Perdana Menteri Taro Aso yang dari LDP. Terdapat beberapa hal yang menarik perhatian bagi semua pihak terkait perubahan pemerintahan Jepang tersebut. Pertama, bagaimanakah pengaruh kondisi domestik serta kondisi eksternal yang mengakibatkan kekalahan LDP yang sudah berkuasa sejak 54 tahun terakhir?? Kedua, bagaimanakah platform kebijakan yang akan diterapkan oleh pemerintahan Jepang dibawah Hatoyama? Ketiga, Akankah ada perubahan secara fundamental terhadap penerapan strategi politik luar negeri Jepang pasca kemenangan DPJ, serta bagaimanakah reaksi dunia internasional termasuk regional? Keempat, bagaimana pula prospek aliansi Jepang-AS pada pemerintahan Hatoyama, mengingat DPJ merupakan pihak yang secara tegas menolak paket Undang-Undang Anti-Terorisme yang salah satu isinya adalah pengerahan kekuatan Jepang untuk mendukung misi militer AS di Afganistan? Terakhir, bagaimana pula prospek hubungan Jepang dengan negara tetangga termasuk Indonesia? Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengurai dan menganalisis bahasan tersebut secara mendalam terkait pertanyaan pokok yang diajukan diatas.

Pemerintahan LDP Jepang Pasca Kepemimpinan Koizumi

Pemerintahan Abe
Pasca resminya Perdana Menteri Koizumi resmi turun tahta pada bulan September 2006, maka tampuk kepemimpinan Jepang diserahkan kepada tokoh senior LDP, yaitu Shintaro Abe. Abe secara resmi dilantik sebagai perdana menteri pada bulan September 2006 setelah memenangi pemungutan suara dalam Majelis Nasional Diet Jepang. Kemenangan tersebut merupakan berkah dari masih bertahannya mayoritas kursi LDP dalam Majelis Rendah Jepang (Shugiin), walaupun pada Majelis Tinggi (Sangiin), telah dikuasai oleh mayoritas DPJ.
Pasca dilantiknya Abe sebagai perdana menteri Jepang yang baru, tentu bukanlah sesuatu yang mudah bagi Abe untuk mempetahankan kepercayaan publik terhadap kepemimpinannya serta citra LDP dalam pemerintahan. Jepang pasca Koizumi masih memerlukan terobosan gagasan yang dirasakan seluruh masyarakat Jepang, seperti masyarakat berpenghasilan menengah atas dan masyarakat kota, termasuk pula petani, golongan pengangguran, masyarakat golongan muda, serta masyarakat golongan tua. Selain itu, Abe juga harus siap dalam menghadapi manuver-manuver kebijakan partai oposisi, DPJ, yang akan selalu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.
Pada bulan April 2006, Ichiro Ozawa dilantik menjadi pemimpin partai oposisi DPJ. Tepat dimasa awal pemerintahan PM Abe, Ozawa secara aktif melakukan kampanye-kampanye citra DPJ terhadap pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan LDP, yaitu golongan petani. Golongan petani merasa di nomor-duakan oleh pemerintah Jepang yang memfokuskan pada kemajuan sektor industri besar. DPJ juga mengkritisi adanya elit senior birokrat yang masih menduduki jabatan pemerintahan. Dalam hal ini, DPJ tidak menginginkan elit senior birokrat untuk menduduki jabatan pemerintahan. Hal ini dikarenakan DPJ memandang bahwa perlu ada efisiensi dan efektivitas birokrasi dalam pemerintahan Jepang. Mengingat bahwa Jepang telah mengeluarkan sebagian besar anggarannya pada pos birokrasi pemerintahan (Arase, 2009).
Pada awal tahun 2007, pemerintahan PM Abe kembali diuji dengan pengunduran diri lima menterinya, empat diantaranya dikarenakan skandal, dan satu menteri terkena kasus korupsi. DPJ di dalam sidang pembahasan Undang-Undang Anti-terorisme Jepang, dengan tegas menolak salah satu isi undang-undang yang memberikan otoritas bagi Self-Defense Force (SDF) dalam hal pengisian bahan bakar ke kapal Angkatan Laut AS di Samudera India, untuk kepentingan perang di Afganistan. Penolakan DPJ pada masa pemerintahan PM Abe tersebut memberikan pengaruh besar terhadap pengunduran diri PM Abe pada tanggal 12 September 2007 (Arase, 2009: 108).

Pemerintahan Yasuo Fukuda
Yasuo Fukuda, menjadi perdana menteri Jepang sejak bulan September 2007 menggantikan PM Abe yang telah mengundurkan diri. Fukuda juga merupakan tokoh senior LDP dan berusia 71 tahun ketika menjabat sebagai perdana menteri. Landasan kebijakan yang dijalankan oleh PM Fukuda adalah melanjutkan pembahasan tentang UU Anti-terorisme yang pernah ditolak oleh partai oposisi DPJ. Fukuda menjadikan UU Anti-terorisme sebagai prioritas kebijakan yang harus diselesaikan. Fukuda memulainya dengan memperpanjang sidang parlemen (Diet) sampai Januari 2008, sehingga Fukuda berhasil memasukkan anggaran anti-terorisme pada bulan April 2008 setelah tahun fiskal yang baru dimulai.
Dalam bidang energi, PM Fukuda melaksanakan kebijakan pembaruan pajak penggunaan bensin, yang dipandang sebagai kebijakan yang tidak populer. Hal ini disebabkan karena pada waktu kebijakan diterapkan, harga minyak dunia sedang meningkat tajam. Dalam kesempatan tersebut, DPJ melakukan manuver politik dengan menolak paket pembaruan pajak penggunaan bensin yang diajukan oleh PM Fukuda pada bulan Februari 2008. Akibatnya, masyarakat dapat menikmati harga bensin yang relatif murah berkat perjuangan DPJ menolak paket kebijakan pembaruan pajak bensin tersebut (Konishi, 2009).
PM Fukuda dihadapkan pada sebuah tekanan yang berasal dari DPJ, atas ketidak-mampuannya dalam memilih Gubenur Bank Jepang yang baru. Pemilihan tersebut merupakan hal yang sangat vital, mengingat koordinasi kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kordinasi finansial global sangat diperlukan. DPJ dalam hal ini menolak adanya senior birokrat yang telah pensiun untuk menduduki kembali jabatan pemerintahan. Secara nyata, PM Fukuda memilih nama-nama calon Gubenur Bank Jepang yang berasal dari pensiunan birokrat. Namun pada akhirnya, PM Fukuda menawarkan nama Shirakawa Masaaki sebagai Gubernur Bank Jepang sejak April 2008 (Arase, 2009).
Kenyataan politik domestik tidak lantas mempengaruhi upaya PM Fukuda dalam menjalankan strategi politik luar negerinya. Jepang pada masa PM Fukuda berhasil memperkuat kerjasamanya dengan Amerika Serikat. Selain itu, Jepang juga berhasi mempererat hubungannya dengan China, Korea Selatan, dan juga ASEAN. PM Fukuda juga mengadakan pembicaraan tentang komunitas keamanan dan demokrasi bersama India dan Australia sebagai dampak dari kebangkitan China di kawasan. PM Fukuda juga berhasil meyakinkan China tentang komitmennya dalam menjalin hubungan baik dengan menyatakan tidak akan mengunjungi kuil Yasukuni.
Dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, PM Fukuda mengalami beberapa miskalkulasi. Seperti pada bulan Februari 2008, telah terjadi tabrakan antara kapal perang SDF dengan kapal penangkap ikan di perairan Jepang. PM Fukuda tidak dapat membarikan alasan yang rasional tentang hal ini. Selain itu, miskalkulasi juga terjadi dalam hal penerapan kebijakan kesehatan yang sejak pemerintahan PM Abe, masyarakat tidak merasakan pelayanan dan akses kesehatan yang semakin baik. Hal ini mendorong merosotnya tingkat dukungan publik dari 55% pada bulan Oktober 2007, menjadi 20% pada bulan Mei 2008. DPJ memanfaatkan momen tersebut untuk segera mendesak pemilihan kembali Majelis Tinggi Jepang. Namun upaya DPJ tersebut tidak disetujui oleh mayoritas parlemen Jepang. Fukuda mengundurkan diri pada bulan September 2008 setelah melakukan reshuffle kabinet dengan mengganti Taro Aso dari jabatan Menteri Luar Negeri Jepang menjadi Sekjen LDP (Arase, 2009: 109).

Pemerintahan Taro Aso
Taro Aso merupakan pengganti PM Fukuda sejak tanggal 24 September 2008. Aso merupakan tokoh yang dicalonkan oleh LDP untuk menduduki kursi perdana menteri Jepang yang baru. Tingkat dukungan publik pada Aso sebesar 49,5%, 10 poin lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Tingkat dukungan bagi Aso juga merupakan yang terendah diantara para pendahulunya, dimana Fukuda dengan 57,5% dan Abe dengan 70,3%. Selain itu, PM Aso juga dihadapkan pada permasalahan impor beras bermasalah, dimana beras yang didatangkan oleh pemerintah Jepang adalah beras yang sudah terkontaminasi. Hal ini menimbulkan pemberitaan yang negatif terhadap PM Abe dan juga Menteri Pertanian Jepang, Ota Seiichi.
PM Aso menjalankan kebijakan sama seperti para pendahulunya. Tidak terdapat perubahan yang dapat dirasakan oleh masyarakat Jepang. Terlebih, ketika krisis finansial global melanda dan membawa dampak bagi Jepang. Jepang merupakan negara yang mengandalkan perekonomiannya dari sektor ekspor produk. Maka ketika pemintaan konsumen global menurun, Jepang mengalami penurunan permintaan domestik dan juga permintaan luar negeri juga. Oleh karena itu, gelombang PHK juga terjadi secara masif di Jepang pada periode PM Aso, yang juga sekaligus periode krisis finansial global. PM Aso mengeluarkan paket stimulus sebesar US$284 milyar, yang digunakan sebagai stimulus ekonomi, pembiayaan pemilihan Majelis Rendah Jepang, dan juga sebagai biaya rekonstruksi fiskal Jepang (Arase, 2009: 112).
PM Aso menyelesaikan jabatannya sebagai perdana menteri Jepang setelah diadakan pemilu Majelis Rendah Jepang pada bulan Agustus 2009. Pemilu Majelis Rendah Jepang dimenangkan oleh DPJ dengan mayoritas kursi, sehingga kepemimpinan Jepang saat itu pula dihadapkan pada satu prospek perubahan di tangan pemimpin DPJ.

DPJ: Menuju Kekuasaan Fenomenal
Democrat Party of Japan (DPJ) merupakan sebuah partai yang didirikan pada bulan April 1998. Partai ini merupakan gabungan dari empat partai yang terdiri dari Democrat Party of Japan (DPJ), Good Governance Party (GGP), New Fraternity Party (NFP) dan juga Democrat Liberal Party (DLP). Pada bulan Mei 2003, satu partai lagi yang mendeklarasikan diri untuk bergabung dengan DPJ, yaitu Centre-right Liberal Party (CRLP) yang dipimpin oleh Ichiro Ozawa. DPJ juga merupakan partai yang sebagian kadernya berasal dari Partai Sosialis atau Socialist Party (Konishi, 2009 : 2).
Ichiro Ozawa, menduduki posisi yang sangat penting dalam membawa DPJ ke dalam tampuk kekuasaan. Ozawa memimpin DPJ sejak bulan April 2006 sampai bulan Mei 2009. Ozawa memimpin DPJ dalam tiga periode kepemimpinan, sampai ada akhirnya dia mengundurkan diri karena skandal bantuan keuangan ilegal dalam tubuh DPJ. Keberhasilan DPJ dalam meraih kekuasaan saat ini tidak bisa dipisahkan dari usaha-usaha pembangunan citra serta tindakan politik yang dijalankan oleh DPJ dibawah pimpinan Ozawa.
Sejak pertama kali memimpin DPJ pada tahun 2006, Ozawa melakukan serangkaian manuver politik melawan pemerintahann berkuasa PM Abe. Ozawa berhasil melakukan pendekatan terhadap rakyat dan juga mengambil perhatian publik dikarenakan tindakan politiknya. Ozawa melakukan perjalanan mengelilingi Jepang untuk bertemu dan berdialog dengan para petani dan para pengangguran. Kelompok tersebut merupakan kelompok yang dikecewakan oleh kebijakan pemerintahan dibawah pimpinan PM Abe yang berasal dari LDP. Usaha Ozawa ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Pembangunan citra serta pendekatan yang dia lakukan ternyata berhasil membawa DPJ memenangi pemilu Majelis Tinggi Jepang pada bulan Juli 2007 dengan menguasai mayoritas kursi sebesar 109 kursi (39,5%), jauh melampaui capaian LDP yang hanya memperoleh 83 kursi (28,1%).
DPJ telah menjalankan fungsinya sebagai partai oposisi yang siap mengkritisi dan mengawasi pemerintahan secara proaktif. DPJ dalam pimpinan Ozawa, telah menjalankan serangkaian kebijakan pro-rakyat dan juga pro-nasional. DPJ pada masa pemerintahan PM Abe dan PM Fukuda, telah mengkritisi kepemimpinan keduanya yang dari LDP, sebagai kepemimpinan yang tidak memiliki kompetensi. Selain itu, isu korupsi juga mencuat ketika PM Abe dan PM Fukuda menjalankan pemerintahan. Hal ini praktis membawa implikasi terhadap stabilitas kinerja kabinet, yang ditandai dengan pengunduran diri beberapa menteri kabinet karena terkait isu skandal dan korupsi. DPJ dalam hal ini, mengkritisi tentang adanya amakudari dalam pemerintahan yang seharusnya tidak lagi diberikan prosi dalam jabatan pemerintahan.
Dalam serangkaian kunjungan Ozawa ke Beijing pada bulan Desember 2007, dia bertemu dengan Presiden China Hu Jintao. Pada kesempatan tersebut, Ozawa berikrar untuk tidak akan mengunjungi Kuil Yasukuni apabila DPJ menjadi perdana menteri. Dua bulan kemudian, tepatnya pada bulan Februari 2008, Ozawa melakukan kunjungan ke Seoul Korea Selatan, dan bertemu dengan Presiden Lee Young Dae. Pada kesempatan itu pula, Ozawa berjanji pada Presiden Lee bahwa dalam pemerintahan DPJ kelak, warga negara Jepang keturunan Korea akan diberikan hak pilihnya. Hal ini saya pandang sebagai sebuah sinyalemen baik bagi kepemimpinan DPJ. Ozawa juga memperlihatkan itikad baik untuk menjalin hubungan kerjasama yang didasarkan pada persahabatan dan rasa saling percaya (Arase, 2009: 115).
DPJ dibawah pimpinan Ozawa juga mengeluarkan kebijakan penolakan terhadap kebijakan pembaruan pajak penggunaan bensin pada pemerintahan PM Abe dan PM Fukuda. Sehingga pada akhirnya, DPJ mendapat limpahan dukungan publik dikarenakan publik menikmati bensin yang terjangkau tanpa harus menaikkan insentif pajak. Selain itu pula, DPJ selalu menyatakan penolakannya atas Undang-Undang Anti-terorisme yang merupakan cerminan kedekatan hubungan Jepang dengan Amerika Serikat. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa SDF Jepang membantu pengisian bahan bakar kapal angkatan laut AS di Samudera India, dalam misinya melawan terorisme di Afganistan. DPJ dalam hal ini menyatakan bahwa respon SDF di Darfur lebih dibutuhkan dibandingkan dengan bantuan SDF ke angkatan laut AS (Smith, 2009).
Kepemimpinan Ozawa di DPJ berakhir dikarenakan adanya dugaan skandal keuangan pada masa PM Fukuda, dimana Ozawa beserta DPJ ditawarkan sebuah skema koalisi besar. Namun ketika Ozawa membawa tawaran PM Fukuda tersebut di dalam DPJ, 44 dari 47 orang anggota DPJ pusat menolak. Selain itu, Ozawa juga mendapat kasus dugaan donasi ilegal dari fundraising sebesar 21 juta yen. Hal ini menjadikan Ozawa menyerahkan kepemimpinan DPJ kepada Yukio Hatoyama pada bulan Mei 2009. Mundurnya Ozawa sebagai pemimpin DPJ tidak membuat Hatoyama bergerak sendiri dalam menjalankan roda partai. Hatoyama masih mempercayakan Ozawa dalam kepemimpinan partai dan menjadikannya sebagai sekertaris jenderal (sekjen) DPJ (Konishi, 2009: 2).
Dari serangkaian strategi tersebut, DPJ berhasil menggeser dominasi politik domestik yang selama ini dipegang oleh LDP. Momentum tersebut didapat DPJ sejak memenangkan pemilu Majelis Tinggi Jepang pada bulan Juli 2007 dengan memperoleh kursi mayoritas sebesar 39,5%. Kemenangan dalam Majelis Tinggi Jepang tersebut menjadikan DPJ semakin memperlihatkan manuver-manuver kebijakan pembaruannya. Sehingga DPJ pun memperoleh hasil yang setimpal pula dari kerja kerasnya, dengan memenangkan pemilu Majelis Rendah Jepang pada bulan Agustus 2009 dengan kursi mayoritas sebesar 42,4%. Dengan demikian, DPJ menguasai penuh parlemen Jepang atau Diet, dengan menguasai mayoritas kursi di Majelis Tinggi maupun Majelis Rendah. Hal ini pula kemudian mengantarkan Yukio Hatoyama sebagai perdana menteri Jepang yang baru sejak 16 September 2009, menggantikan PM Aso. Hal ini juga menandakan babak baru pemerintahan Jepang dimana dalam kurun waktu 54 tahun dapat mengalahkan dominasi LDP dalam pemerintahan.

Platform Kebijakan Democrat Party of Japan (DPJ)
a. Kebijakan Domestik DPJ
Tidak lama setelah DPJ memegang tampuk kekuasaannya dibawah PM Hatoyama, DPJ mengeluarkan serangkaian dokumen yang berisikan tentang platfrom kebijakan DPJ yang berjudul Manifesto DPJ 2009. Dalam dokumen tersebut terdapat beberapa hal penting terkait kebijakan domestik Jepang dalam pemerintahannya empat tahun mendatang.
Pertama, adalah kebijakan tentang upaya mengakhiri anggaran yang terdapat unsur pemborosan. Hal ini berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas birokrasi. DPJ tidak akan membiarkan lagi adanya para birokrat pensiun yang masih menjabat dalam birokrasi pemerintahan. DPJ juga menginginkan skema penghapusan anggaran pajak keuangan yang dipandang tidak efisien. DPJ dalam hal ini juga akan melarang perusahaan atau organisasi dalam hal pemberian donasi politik bagi partai yang bersangkutan. Upaya penghematan anggaran juga diwujudkan dengan mengurangi jumlah kursi keterwakilan daalam Majelis Rendah Jepang sebanyak 80 kursi (Manifesto DPJ, 2009).
Kedua, kebijakan bantuan pendidikan bagi anak-anak Jepang berupa dana bantuan sebesar 312.000 yen per tahun, sampai menyelesaikan sekolah tingkat pertama. Selain itu juga membebaskan biaya pendidikan sekolah serta memperbanyak jalur dan akses beasiswa secara inklusif di lingkungan pendidikan tinggi (universitas).
Ketiga, kebijakan perlindungan kesehatan dan perlindungan bagi penduduk pensiunan. DPJ dalam platform kebijakannya, akan menciptakan sebuah sistem pensiun yang lebih adil. Dalam artian bahwa DPJ akan mengeluarkan kebijakan proporsi pendapatan pensiunan serta jaminan dasar pensiunan. Hal ini ditujukan untuk menghindari penduduk Jepang yang pensiun dengan jaminan keuangan yang tidak memadai, bahkan tidak mendapat jaminan keuangan pensiun (Manifesto DPJ, 2009)..
Keempat, tentang pengangguran dan kebijakan ekonomi. DPJ akan menjalankan kebijakan pengurangan rasio pajak bagi usaha kecil dan menengah hingga 11 %. Bagi para pengangguran, DPJ akan mengeluarkan kebijakan dana bantuan bulanan sebesar 100.000 yen selama pelatihan kerja. Selain itu, DPJ juga akan memperjuangkan persamaan hak serta asuransi dan jaminan kerja bagi pekerja laki-laki dan pekerja perempuan, serta bagi pekerja tetap maupun pekerja tidak tetap. Di bidang ekonomi, DPJ akan menggantikan the Council of Economic and Fiscal Policy, sebuah badan penasihat kebijakan bagi perdana menteri, dengan National Strategy Bureau (Manifesto DPJ, 2009).

b. Strategi Politik Luar Negeri DPJ
Dalam hal penerapan politik luar negeri, DPJ telah menuangkan variabel-variabel tujuan dalam politik luar negeri di dalam Manifesto DPJ 2009.
Pertama, upaya mengembangkan strategi politik luar negeri yang proaktif, serta membangun kerjasama dan aliansi antara Jepang-AS secara sejajar. Kedua, Membangun mekanisme kerjasama intra-regional di kawasan Asia Pasifik yang ditujukan untuk membangun Komunitas Asia Timur bersama dengan ASEAN plus Three (APT). Ketiga, memastikan bahwa Korea Utara menekan perkembangan penggunaan senjata nuklir dan misil. Keempat, memainkan peran secara proaktif di dalam operasi pasukan perdamaian PBB, melanjutkan liberalisasi perdagangan dan investasi, serta bersama-sama memerangi pemanasan global. Terakhir, mengambil alih peran kunci dalam upaya menghilangkan dan mengurangi penggunaan senjata nuklir, serta menangani bahaya dan ancaman terorisme (Manifesto DPJ, 2009).

Pendekatan Jepang melalui Politik Luar Negeri di Asia Pasifik
Ketika pertumbuhan ekonomi serta pembangunan terjadi, banyak pertanyaan ditujukan pada prospek Asia Timur dalam menciptakan momentum pemegang peranan kunci dalam pertumbuhan regional. Jepang merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia serta kekuatan ekonomi Asia. Kekuatan industrialisasi di Jepang, China dan Korea Selatan memiliki pengaruh yang besar bagi perekonomian dunia (Drysdale and Elek, 1997).
Jepang merupakan negara dengan kekuatan ekonomi kedua terbesar setelah Amerika Serikat. Dalam menjalankan strategi politik luar negerinya di kawasan Asia Pasifik, Jepang merupakan negara yang dikenal bersahabat. Jepang juga dikenal proaktif dalam mengikut-sertakan dirinya dalam kerangka kerjasama regional, dalam upaya menumbuhkan sikap saling percaya, menjaga perdamaian, serta menciptakan kondisi yang bersahabat dalam kerjasama kawasan. Hal ini terbukti dengan keikutsertaan Jepang dalam beberapa forum kerjasama regional seperti Asia-Pasific Economi Community (APEC), ASEAN plus Three (APT), ASEAN Regional Forum (ARF), Pacific Economic Cooperation Council (PECC), serta keikut-sertaan Jepang dalam membangun pondasi terciptanya East Asia Community (EAC).

a. Peran dalam Kerjasama Ekonomi Kawasan
Kerjasama ASEAN dengan Jepang sudah terjalin sejak lama, yaitu sejak tahun 1977 dengan diresmikannya ASEAN-Japan Forum yang merupakan pertemuan antara pejabat tinggi Jepang dengan ASEAN. Bagi ASEAN, Jepang merupakan mitra dialog yang aktif. Intensitas kerjasama Jepang dengan ASEAN menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai proyek dengan pembiayaan Jepang dalam kerangkan kerjasama Japan-ASEAN General Exchange Fund (JAGEF), Japan-ASEAN Economic Partnership (JAEP), Japan-ASEAN Integration Fund (JAIF), serta skema Chiang Mai Initiative (Deplu RI, 2007: 116-118).
Jepang merupakan negara anggota ASEAN plus Three (APT) sejak awal dibentuknya pada tahun 1999. Pembentukan APT tidak bisa dilepaskan dari peran Jepang sebagai negara yang proaktif dalam membangun dan menciptakan kerangka kerjasama yang saling menguntungkan. Krisis ekonomi pada tahun 1998 yang melanda sebagian besar negara-negara ASEAN dan negara Asia umumnya, menumbuhkan kesadaran pada negara-negara anggota APT, untuk menciptakan dan menjaga struktur ekonomi yang kokoh di kawasan. Salah satu produk dari APT adalah dengan dibentuknya skema cadangan dana antisipasi dampak krisis ekonomi bagi negara-negara ASEAN. Skema tersebut dituangkan dalam Chiang Mai Initiative (CMI). Pada KTT ASEAN ke-15 di Hua Hin, Thailand 2009, Jepang bersama China dan Korea Selatan bersedia memberikan dana antisipasi sebesar US$ 120 miliar yang diperuntukkan bagi negara-negara ASEAN (Kompas, 26 Oktober 2009).

b. Isu Keamanan Kawasan
Kawasan Asia Pasifik serta Asia Timur merupakan lingkaran konsentrik penerapan strategi politik luar negeri Jepang. Betapa tidak, kawasan ini merupakan salah satu kawasan konfliktual yang masih menyisakan pertanyaan tentang keamanan dan perdamaian kawasan. Sejak Perang Dunia II, tingkat ketegangan kawasan relatif menurun dengan menyerahnya Jepang ditangan sekutu pada bulan Agustus 1945. Hal itu pula yang sekaligus mengakhiri dominasi kolonialisme Jepang di sebagian besar kawasan Asia Pasifik dan Asia Timur termasuk Indonesia.
Pasca Perang Dunia II, ternyata masih belum membawa kawasan Asia Pasifik dan Asia Timur menjadi kawasan yang damai. Kawasan tersebut justru menjadi sasaran bagi pengaruh dua blok, yaitu Blok Timur dan Blok Barat. Perang Dingin memaksa kawasan Asia Pasifik dan Asia Timur kembali pada tingkat kerentanan yang sama pada saat Perang Dunia II. Sebagai contoh adalah Perang Korea (Korea Selatan vs Korea Utara) pada tahun 1950-1953 yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hubungan China dan Jepang pun masih digambarkan sebagai hubungan yang penuh kehati-hatian.Pasca Perang Dingin, dapat dipastikan secara bertahap bahwa hubungan sesama negara di kawasan Asia Timur mengarah pada tingkat perkembangan yang lebih baik. Ditandai dengan turut sertanya Jepang, China, dan Korea Selatan sebagai mitra dialog ASEAN sejak tahun 1990-an. Selain itu, ketiga negara tersebut juga mengikuti kerjasama penanganan keamanan dalam kerangka ASEAN Regional Forum (ARF).
Upaya Jepang dalam isu keamanan regional juga diperlihatkan dengan proaktifnya Jepang pada masa pemerintahan Koizumi hingga Taro Aso, dalam merespon setiap itikad baik negara tetangga dalam upaya penciptaan kondisi damai. Hal ini ditunjukkan dengan ikutnya Jepang dalam mekanisme dialog enam negara atau Six Party Talk dalam penyelesaian Nuklir Korea Utara. Seperti yang kita ketahui bahwa isu nuklir Korea Utara merupakan isu sensitif berkaitan dengan hubungan antar negara di kawasan. Dalam kasus Korea Utara, terdapat kompleksitas hubungan yang menunjukkan dinamika kawasan. Korea Utara merupakan negara berhaluan komunis yang menjalankan kebijakan isolasi serta kebijakan produksi persenjataan nuklir. Hal ini bertentangan dengan perjanjian Nuclear non-Proliferation Treaty (NPT) yang melarang setiap negara menjadi produsen senjata nuklir setelah NPT diratifikasi dan ditandatangani pada tahun 1968.
Korea Utara memiliki hubungan yang dekat dengan China yang sama-sama berhaluan komunis. China dalam setiap kesempatan isu nuklir Korea Utara di DK PBB selalu menolak untuk turut serta lebih jauh. Hal ini mengingat pertimbangan China atas pengaruhnya di kawasan terhadap Korea Utara. Sedangkan Jepang, dalam kasus ini, selalu memberikan sikap yang sejalan dengan asas keamanan regional serta kerjasamanya dengan Amerika Serikat. Jepang dalam kasus Korea Utara mengambil sikap berhati-hati serta responsif terhadap ambisi nuklir Korea Utara. Mengingat bahwa Jepang pasca Perang Dunia II hanya dibekali dengan sistem perlindungan diri ala Self-Defense Force (SDF) serta kerjasama militer yang masih bergantung pada Amerika Serikat. Oleh karena itu, Jepang memandang bahwa merupakan hal vital yang berkaitan dengan kepentingan keamanan nasional, untuk turut serta bersama-sama Amerika Serikat dalam Six Party Talk (Andrea dalam Analisis CSIS, 2004).
Selain itu, Jepang juga mengikuti mekanisme kerjasama ASEAN Regional Forum (ARF) dalam penanganan isu keamanan bersama serta penyelesaian sengketa secara regional dalam kerangka ASEAN. Hal tersebut menandakan bahwa Jepang menganggap penting kerjasama kawasan di bidang keamanan bersama ini. Jepang juga menganggap penting peran ASEAN dalam menciptakan solidaritas Asia Timur nantinya. Dalam pertemuan ARF, Jepang selalu mengirimkan perwakilan untuk membahas masalah keamanan serta solusi bersamanya dalam konteks regionalisme.

c. Aliansi Strategis Jepang-AS di Asia Timur
Jepang merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Keberadaan Jepang sebagai kekuatan ekonomi di Asia Timur membawa arti penting bagi Amerika Serikat dalam membina kerangka kerjasama bilateral, tidak hanya di bidanh ekonomi, tetapi di bidang militer. Kerjasama bilateral antara Jepang-AS di bidang militer telah terbentuk sejak lama. Hal ini berkaitan dengan kenyataan sejarah pasca Perang Dunia II dimana Jepang kalah melawan tentara sekutu yang dipimpin oleh AS. Sejak saat itu, konstitusi Jepang tahun 1947 menghapuskan keharusan Jepang dalam memiliki armada perang. Sebagai gantinya, Amerika Serikat menawarkan kerjasama militer dalam bentuk operasi bersama. Kerjasama tersebut dituangkan dalam Mutual Security Assistance Pact tahun 1952, dimana merupakan cikal bakal berdirinya Self-Defense Force (SDF). Selain itu, kerjasama militer dikembangkan kembali beberapa tahun berikutnya, sehingga melahirkan kerangka kerjasama dalam Mutual Cooperation and Security pada tahun 1960 (Wakabayashi, 2008: 4-6).
Aliansi yang dibentuk Jepang dengan AS tersebut merupakan kerjasama keamanan bilateral yang utama bagi kedua negara. Jepang, merupakan negara yang memiliki kepentingan untuk menjaga keamanan nasional dari kemungkinan ancaman yang datang dari lingkungan eksternalnya. Kerangka kerjasama yang sudah dibentuk menghasilkan sistem proteksi dan sistem pertahanan bersama Jepang-AS di kawasan Asia Pasifik dan Asia Timur. Sistem pertahanan tersebut misalnya SDF, operasi keamanan bersama, serta kerjasama dalam perang melawan terorisme. Sedangkan Amerika Serikat, memerlukan Jepang dalam menempatkan basis militernya di pulau Okinawa. Kepentingan AS dalam hal ini adalah untuk mengamankan kepentingan nasionalnya di Samudera India dan Samudera Pasifik bagian barat (Okamoto, 2002: 60).
Aliansi Jepang-AS memiliki arti penting bagi kedua negara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang rentan. Bagi AS, merupakan hal yang penting dalam menjaga status quo di Asia Timur mengingat selalu ada kemungkinan konflik dalam hal militer dan perbatasan. Mengamankan dan mempertahankan status quo di Asia Timur merupakan strategi Amerika Serikat dalam mengamankan kepentingan nasional nya. Oleh karena itu, kerangka keamanan bersama Jepang-AS memberikan jaminana keamanan bersama bagi Jepang, terhadap segala kemungkinan tindakan dan provokasi eksternal yang mengancam kepentingan Jepang dan juga AS (Okamoto, 2002: 61).
Aliansi Jepang-AS pada masa PM Koizumi tidak mengalami hambatan yang berarti dari dinamika politik domestik. Namun, setelah momentum DPJ memperoleh kursi mayoritas Majelis Tinggi Jepang, kondisi politik domestik berpengaruh dalam proses strategi aliansi Jepang-AS. Modifikasi aliansi Jepang-AS dituangkan dalam Undang-undang anti-terorisme, yang salah satu isinya adalah memberikan akses bantuan pengisisan bahan bakar dari Japan Maritime SDF untuk armada kapal perang AS di Samudera India. DPJ berhasil menolak paket undang-undang tersebut sehingga bergantinya kepemimpinan Jepang di tangan PM Fukuda. Dalam pemerintahan PM Fukuda, DPJ juga berhasil menolak paket undang-undang warisan PM Abe tersebut. Namun, PM Fukuda menggunakan taktik memperpanjang waktu pembahasan undang-undang sehingga kebijakan bantuan bagi armada kapal perang AS di Samudera India tersebut berhasil digulirkan (Arase, 2008).
Aliansi Jepang-AS dihadapkan pada suatu era yang tidak pasti setelah PM Hatoyama, yang berasal dari DPJ memimpin pemerintahan. Mengingat DPJ merupakan sosok partai oposisi yang selalu menolak keberadaan militer AS di tanah Jepang, sekaligus menginginkan kerjasama yang sejajar dan setara. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana prospek hubungan aliansi yang telah lama terjalin antara Jepang-AS tersebut.

Quo Vadis Jepang bersama DPJ
• Evolusi Hubungan Jepang-Amerika Serikat
Sesaat setelah DPJ memenangi pemilu Majelis Rendah Jepang pada tanggal 30 Agustus 2009, maka media-media internasional segera menerbitkan berbagai versi artikel-artikel dan opini-opini tentang prospek Jepang dibawah kekuasaan DPJ. Hal ini wajar, mengingat selain momentum oposisi dalam memegang kekuasaan 54 tahun terakhir, catatan perjalanan DPJ pun dikenal sangat tegas terutama berkaitan dengan kebijakan ekonomi domestik, kesehatan, bahkan strategi politik luar negeri. Yukio Hatoyama, Presiden DPJ, berhasil diangkat menjadi perdana menteri Jepang yang baru sejak 16 September 2009. Berbagai spekulasi mengiringi pelantikan Hatoyama. Leif-Eric Easley, dalam artikelnya di majalah Economist tentang kepemimpinan Jepang yang baru, berpendapat bahwa PM Hatoyama beserta Menteri Luar Negeri Jepang Katsuya Okada merupakan sosok pragmatis yang visioner, namun hanya memiliki sedikit pengalaman dalam memimpin pemerintahan (the Economist, 17 September 2009).
Strategi politik luar negeri Jepang yang telah dirancang sebelum kepemimpinan Hatoyama dan DPJ merupakan strategi politik luar negeri yang proaktif. Namun, DPJ lebih banyak memperbesar porsi kritikannya terhadap strategi aliansi dan kerjasama antara Jepang dan AS sebelum-sebelumnya. DPJ memandang bahwa kerjasama dan aliansi yang dibentuk oleh para pendahulunya yang dari LDP, merupakan strategi yang menempatkan Jepang sebagai subordinasi kepentingan Amerika Serikat. Amerika Serikat dipandang menjadikan Jepang sebagai tameng-nya, dalam mencapai kepentingan nasional AS. Hal ini lebih lanjut, tercermin dari aliansi militer Jepang-AS terkait basis militer AS (Marine Air Station Futenma ) di Okinawa. Selain itu, misi pengisian bahan bakar terhadap kapal perang AS di Samudera India juga merupakan isu yang paling dikritisi oleh DPJ (Smith, 2009).
Oleh karena itu, isu aliansi Jepang-AS merupakan salah satu isu yang akan dipertimbangkan kembali oleh pemerintahan Jepang dibawah kepemimpinan PM Hatoyama. Sebagaimana pula yang disebutkan sebelumnya dalam DPJ Foreign Policy Goals, dimana Jepang ingin menciptakan hubungan dan kerjasama yang lebih sejajar dan setara bersama Amerika Serikat. Dalam hemat saya, Jepang telah memberikan sinyal yang membuat AS berpikir kembali tentang kerjasama dan aliansinya dengan Jepang. Pemikiran PM Hatoyama tentang hubungan yang sejajar dan setara antara Jepang-AS menimbulkan intepretasi bahwa Jepang akan menerapkan kebijakan otonomi terhadap AS, serta menyeimbangkan kembali hubungan Jepang dengan AS. PM Hatoyama mengambil tindakan yang tepat setelah kemenangan DPJ, dengan segera bertemu dengan Duta Besar AS di Jepang, dan juga menelpon Presiden AS Barack Obama, untuk membangun kepercayaan AS terhadap pemerintahan yang dipimpinnya (Newsweek, 14 September 2009).

• Membangun Perdamaian dan Menciptakan Kesejahteraan di Asia
Jepang merupakan salah satu negara di Asia yang menjadi magnet ekonomi bagi negara tetangganya serta dunia internasional. Kekuatan ekonomi Jepang merupakan kekuatan terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Kenyataan ini yang membuat Jepang selalu berupaya melebarkan pengaruhnya di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Kedekatan hubungan Jepang dengan Amerika Serikat membuat citra yang AS melekat pada Jepang. Sehingga tidak jarang banyak yang melihat Jepang sebagai representasi Amerika Serikat di kawasan, bukan merepresentasikan Jepang itu sendiri. Poin tersebut merupakan salah satu yang dikritisi oleh DPJ sebagai kebijakan yang tidak otonomi. Jepang, dengan pemerintahannya yang baru, berupaya menciptakan kerangka strategi politik luar negeri dan kebijakan kawasan yang autonomous. Hal tersebut merupakan salah satu poin penting reformasi strategi Jepang di kawasan.
Membangun kawasan Asia yang damai dan sejahtera merupakan bagian penting dari kepentingan nasional Jepang. Katsuya Okada, mengatakan bahwa pemerintahan baru Jepang akan memulai untuk menawarkan kerangka kerjasama perdagangan bebas (Free Trade Agreement, FTA) dan juga kemitraan ekonomi (Economic Partnership Agreement, EPA) kepada ASEAN. ASEAN pada masa kepemimpinan PM Hatoyama merupakan magnet bagi pencapaian kepentingan nasional Jepang. Jepang mendukung adanya integrasi ASEAN yang pada akhirnya akan membawa pengaruh pada integrasi Asia Timur (Kompas, 1 November 2009). Hal tersebut merupakan bagian dari upaya Jepang dalam menjadi pelopor bagi terbentuknya Komunitas Asia Timur (East Asia Community, EAC).
Asia Tenggara dan Asia Timur menjadi prioritas perhatian dalam penerapan strategi Jepang dibawah PM Hatoyama. Betapa tidak, Jepang berpandangan bahwa keberhasilan Uni Eropa dalam menciptakan kerangka integrasi regional ternyata mendatangkan keuntungan bersama. Bagi Jepang, integrasi Asia Timur merupakan kerangka kerjasama yang paling kompetitif apabila terbentuk. Oleh karena itu, dalam kesempatan KTT Asia Timur ke-4 di Hua Hin, Thailand, tanggal 25 Oktober 2009, PM Hatoyama memberikan usulan tentang penekanan kerjasama strategis dalam pembentukan EAC (Kompas, 1 November 2009).
Bisa kita lihat, potensi yang dimiliki Asia Timur mampu melebihi apa yang dimiliki oleh Uni Eropa saat ini. Pertama, dalam segi ekonomi, terdapat beberapa magnet ekonomi seperti Jepang, China, Korea Selatan, Indonesia, dan juga Singapura. Tiga negara diantaranya termasuk dalam G-20, yaitu China, Jepang dan Indonesia. Hal ini tentunya akan menjadikan EAC sebagai organisasi yang kompetitif. Kedua, dari segi potensi pasar, dengan jumlah total penduduk lebih dari 1,7 miliar jiwa, maka EAC dipandang memiliki pengaruh yang besar bagi perekonomian global. Namun permasalahan mendasar bagi terciptanya EAC adalah integrasi ASEAN itu sendiri serta soliditas hubungan negara Asia Timur yang masih banyak perbedaan pandangan.

Pemerintahan Baru Jepang bagi Indonesia
Pergantian kepemimpinan pemerintahan Jepang masih menyisakan sedikit pertanyaan mengenai prospek hubungan Indonesia-Jepang di bawah pemerintahan PM Hatoyama yang berasal dari partai oposisi Jepang, DPJ. Adakah upaya mempertimbangkan kembali hubungan Indonesia-Jepang yang sebelumnya telah dijalin oleh pemerintahan Jepang terdahulu?
Bahwa memang benar adanya jikalau pemerintahan baru Jepang memberikan porsi perhatian yang lebih ke negara-negara Asia, tidak terkecuali Indonesia. Lebih jauh lagi, Jepang menginginkan terbentuknya Komunitas Asia Timur sebagai bagian dari kekuatan dunia. Indonesia dalam hal ini memiliki posisi yang unik. Pertama, bahwa perhatian pemerintah Jepang terhadap Indonesia ada kemungkinan lebih intensif, mengingat potensi Indonesia dalam memimpin integrasi ASEAN. Hal ini tentu diperkuat dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN baik dari segi geografis, demografis, maupun sumber daya alam. Selain itu, Indonesia juga satu-satunya negara ASEAN yang masuk dalam G-20, dimana disana ikut pula Jepang, China, Arab Saudi, Turki, dan India sebagai perwakilan Asia.
Kedua, sebagaimana kita ketahui bahwa diplomasi multilateral Indonesia memang diarahkan pada perhatian terhadap lingkaran konsentris Asia Tenggara dan Asia Timur, sehingga Indonesia dapat membuat arah kebijakan yang sinergis dengan tujuan pemerintahan Jepang yang baru. Terakhir, bahwa Jepang merupakan salah satu mitra dagang terbesar bagi Indonesia.
Sinyalemen penerapan hubungan baik Indonesia Jepang terlihat ketika pasca gempa di Sumatera Barat. Jepang untuk pertama kalinya mengirimkan seorang utusan dari pemerintahan baru Jepang, yaitu Wakil Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri, Tadahiro Matsushita, yang membawa surat titipan dari PM Hatoyama serta membicarakan bantuan bagi korban gempa Sumatera Barat. Tidak hanya itu, dalam kesempatannya bertemu dengan Menteri Luar Negeri RI pada waktu itu, Hasan Wirajuda, Jepang merupakan negara pertama yang mengirimkan tim bantuan dan tim medis ke Padang (the Jakarta Post, 10 Oktober 2009).
Hal diatas menunjukkan bahwa kedepan, pemerintahan baru Jepang tetap akan membina hubungan baik dengan Indonesia, bahkan terdapat kemungkinan terjadi peningkatan intensitas kerjasama bilateral. Dengan melihat pertimbangan-pertimbangan seperti yang telah dijelaskan diatas. Indonesia dengan Jepang memang harus mensinergikan hubungannya karena bagi Jepang, Indonesia merupakan negara yang memiliki lebih banyak potensi dan peran di ASEAN. Sedangkan bagi Indonesia, Jepang tidak hanya sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, tetapi juga merupakan alat pencapaian kepentingan nasional Indonesia melalui strategi politik luar negeri yang dijalankan.



Reference
Book
• Drysdale, Peter dan David Vines. 1998. ‘Europe, East Asia, and APEC: a shared global agenda?’ Cambridge: Cambridge University Press.
• Rourke, John T. 2005.’International Politics in the World Stage’. McGraw Hill: New York.
• Wakabayashi, Hideki. 2008. ‘The U.S-Japan Alliance: A New Framework for Enhanced Global Security.’ Washington DC: CSIS Press

Journal
• Andrea, Faustinus. 2005. ‘Diplomasi Tingkat Tinggi Asia Pasifik’. Analisis CSIS. Vol.34. No.4.
• Arase, David. 2009. ‘ Japan in 2008: A Prelude to Change?’ Journal of Asian Survey. Vol.XLIX. No. I
• Democrat Party of Japan. 2009. ‘Manifesto 2009: The DPJ’s Platform for Government. Japan
• Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri RI. 2007. ‘Selayang Pandang ASEAN’ edisi XVII
• Konishi, Weston S. 2009. ‘The Democrat Party of Japa: Its Foreign Policy Position and Implications for U.S. Interests. CRS Report R40758
• Moon, Chung in. 2009. ‘South Korea in 2008: From Crisis to Crisis.’Journal of Asian Survey. Vol.XLIX. No.I

Daily News
• Harian KOMPAS edisi Minggu, 1 November 2009 dengan judul Tantangan Menjaga Sentralitas ASEAN. Hal 10

Website
• http:// www.dpj.or.jp/english/vision/summary.html
• http://www.economist.com/world/asia/
• http://en.m.wikipedia.org/wiki/Japan_Self_Defense_Force
• http://en.m.wikipedia.org/wiki/Nuclear_Non-Proliferation_Treaty/
• http://en.m.wikipedia.org/wiki/Price_of_petroleum
• hhtp://home.kyodo.co.jp/modules/fstStory/index
• http://www.newsweek.com/id/214991
• http://www.shugiin.go.jp
• http://www.sangiin.go.jp
• http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/07

2 comments:

Anonymous said...

Amiable brief and this fill someone in on helped me alot in my college assignement. Gratefulness you as your information.

Anonymous said...

maaf mas, minta izin buat referensi skripsi saya yah