Thursday, January 8, 2009

Next Article...(HAMAS-Israel War) comin soon

Tunggu aja ya....baru ngepost yang artikel bulan lalu soalnya...

Bush dan Ke(tidak)bijakan Amerika Serikat

Beberapa hari lalu (dibuat 1 bulan yang lalu..hehhe), berbagai media ramai-ramai memberitakan sebuah insiden diplomatik yang memalukan dan yang pertama kali dalam sejarah hubungan internasional. Seorang presiden mendapatkan lemparan dua sepatu oleh seorang wartawan pada saat jumpa pers. Siapa lagi kalau bukan presiden George Walker Bush, presiden Amerika Serikat, yang pada waktu itu didamping oleh perdana menteri Irak Nuri Al-Maliki. Di saat-saat terakhir masa jabatan Bush Junior, Amerika Serikat berhasil menelurkan sebuah kerangka kebijakan keamanan bilateral yang tetuang dalam Pakta Keamanan Bersama yang mengharuskan Amerika Serikat menarik seluruh pasukannya dari Irak pada tahun 2011. Ironisnya, disaat kunjungan terakhirnya ke Irak, yang kali ini merupakan kunjungan keempat sejak invasi Amerika Serikat ke Irak pada Maret 2003, Bush Junior dihadiahkan kenangan kelabu yang menunjukkan aspirasi seorang warga Irak yang merasa dijajah oleh Amerika Serikat.
Kebijakan Luar Negeri yang Sesat
Telah kita ketahui bersama bahwa kebijakan luar negeri Amerika Serikat pasca tragedi 11 September 2001, memang dikenal lebih menggunakan pendekatan militer dan high politic. Betapa tidak, pasca serangan besar-besaran teroris tersebut, membuat Amerika Serikat seolah telah terjangkit phobia yang berlebihan, terlebih dalam hubungananya dengan negara-negara yang tidak bersahabat dengan Amerika Serikat. Doktrin kebijakan luar negeri Bush junior tentang pre-emptive war, menghasilkan apa yang kita kenal dan apa yang kita dengar selama ini, yaitu perang Afghanistan dan Perang Irak. Sampai saat ini pun, Amerika Serikat masih disibukkan dengan menghabiskan ratusan juta dollar untuk pembiayaan perang.
Perang Irak yang dimulai sejak Maret 2003, atas tuduhan Amerika Serikat terhadap Irak bahwa negara tersebut memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah massal (weapons mass destruction). Hal ini dipandang membahayakan dan merupakan ancaman bagi perdamaian dunia. Apalagi Irak selama ini dimasukkan oleh Amerika Serikat sebagai salah satu negara segitiga setan (axis of evil), bersama dengan Korea Utara dan Iran. Ini merupakan sinyal tersendiri bagi Amerika Serikat untuk segera membereskan urusannya dengan Irak, yang pada waktu itu dipimpin oleh Saddam Hussein, seorang sosok pemimpin Arab yang ambisius. Memang pasca Perang Teluk II (1991), hubungan Amerika Serikat yang pada waktu itu dipimpin oleh ayah Bush Junior, yaitu presiden George Bush, dengan Irak khususnya Saddam Hussein sedemikian tegangnya. Sehingga wajar bila pada masa setelahnya, hubungan kedua negara menjadi sangat dingin dan dipenuhi oleh rasa saling curiga.
Saat Bush Junior mendapatkan tampuk kepemimpinan, maka genderang perang dimulai. Pada bulan Maret 2003, Amerika Serikat secara resmi menginvasi Irak dengan pembenaran bahwa Irak memiliki ratusan senjata pemusnah massal. Invasi tersebut merupakan tindakan unilateral Amerika Serikat, karena kepemilikian senjata pemusnah massal ternyata tidak terbukti setelah adanya laporan dari badan atom dunia IAEA. Bahkan Dewan Keamanan PBB, setelah mengirimkan tim inspeksinya ke Irak, telah mengeluarkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal. Pada periode kedua kepemimpinan Bush, Amerika Serikat berhasil menggulingkan rezim Saddam, bahkan memberikan vonis mati kepada Saddam Hussein. Meskipun hal ini menjadi sangat kontroversial, namun berhasil ditekan oleh propaganda media-media Amerika Serikat, bahwa Saddam berhak mendapatkan hukuman mati.
Kenyataan yang pahit saat ini adalah bahwa Amerika Serikat telah menempatkan 146.000 pasukan militer. Sejak saat itu pula, ribuan warga sipil tewas akibat pertempuran yang terjadi di Irak. Ironisnya, mereka yang tewas tidak hanya kelompok kombatan yang terlibat perang, namun juga sebagian besar warga sipil Irak, termasuk para lansia, perempuan, serta anak-anak. Berdasarkan laporan PBB pada tahun 2007, terdapat 1.980 warga sipil yang tewas sejak invasi As ke Irak pada Maret 2003, sebuah angka yang mengejutkan. Ini dapat dikatakan sebagai sebuah kesalahan kebijakan Amerika Serikat yang sangat ofensif. Maka wajar kalau isu-isu tentang penarikan pasukan Amerika Serikat dapat memenangkan Barack Obama dalam Pilpres AS baru-baru ini.
Hadiah terakhir Bush
Insiden memalukan yang merupakan pertanda kenangan yang buruk atas kepemimpinana Bush Junior terjadi. Mumtaha Al-Zaidi, seorang wartawan dari harian Al-Baghdadiyah, melemparkan dua buah sepatu yang dimilikinya pada presiden Bush saat jumpa pers bersama perdana menteri Al-Maliki. Sontak, hal ini menjadi perhatian seluruh dunia. Betapa tidak, seorang presiden AS yang selama ini merupakan aktor sentral kebijakan luar negeri, mendapat lemparan sepatu.
Dalam tradisi Arab, menunjukkan tapak sepatu kepada seseorang merupakan lambang penghinaan, apalagi melemparkannya. Maka merupakan hal yang wajar kalau kita kaitkan dengan penghinaan dan ketidaksukaan rakyat Irak kepada AS, khususnya Bush, atas turut campurnya AS terhadap urusan dalam negeri Irak. Hal ini sebeneranya menunjukkan kepada kita, betapa muak dan jenuhnya rakyat Irak atas perang yang berkepanjangan dan menelan banyak korban jiwa yang merupakan rakyat sipil biasa. Tidak hanya itu saja, keamanan di Irak bukan lagi merupakan jaminan mutu bagi setiap warganya. Angka kriminalitas tumbuh pesat, tidak luput pula angka kematian akibat tindakan-tindakan heroik para pejuang Irak melalui bom bunuh diri. Rakyat Irak merasa mereka memiliki harga diri sebagai bangsa yang merdeka, bangsa yang bebas, dan bangsa yang mandiri. Perang yang dilancarkan oleh AS tidak lagi dipandang sebagai dewa penolong, justru telah dianggap sebagai duri dalam daging, yang harus disingkirkan. Hal ini terbukti, berbondong-bondong rakyat Irak pasca insiden pelemparan sepatu tersebut berunjuk rasa untuk menuntut pembebasan Al-Zaidi yang masih ditahan. Bahkan mantan pengacara Saddam Hussein bersedia untuk dijadikan kuasa hukum Al-Zaidi. Rakyat Irak menganggap tindakan Al-Zaidi tersebut merupakan tindakan heroik dan patut disebut pahlawan.
Apapun kontroversi yang timbul di permukaan atas insiden diplomatik yang memalukan ini, AS memang seharusnya mempertimbangkan dan melihat kenyataan di Irak bahwa rakyat Irak tidak menginginkan lagi kehadiran pasukan militer AS. Pakta Keamanan Bersama yang mengharuskan penarikan pasukan militer AS rampung pada 2011 memang merupakan solusi jangka pendek. Bagi Irak, AS wajib untuk tidak mendikte bahkan ikut campur terhadap urusan dalam negeri. Namun, diuar daripada itu, AS harus merubah image-nya kembali terhadap dunia internasional. Perang Irak dan Afghanistan mencitrakan AS sebagai polisi dunia dan negara yang keras. Maka merupakan suatu keharusan bagi pemimpin baru AS, Obama, untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih damai dan tanpa perang.