Saturday, March 31, 2007

Refleksi Optimisme Bangsa


Beberapa hari lalu kita dikejutkan dengan berita bahwa Indonesia akan memasuki peringkat lima besar ekonomi dunia pada tahun 2030. Bahkan berita tersebut menjadi headline di beberapa surat kabar baik di daerah maupun nasional. Tentunya bagi kalangan akademik dan terpelajar, merupakan sesuatu yang mengundang gelak tawa. Betapa tidak, realitas yang ada saat ini justru menjadi fakor utama pesimisme masyarakat akan perubahan Indonesia yang lebih makmur, adil, dan sejahtera. Sedikit meminjam istilah kerennya yaitu perwujudan masyarakat madani (civil society). Tidak jarang sebagian masyarakat mencibir dengan berkata bahwa masih jauh perjalanan bangsa ini untuk keluar dari keterpurukan struktural maupun kultural. Namun tidak sedikit pula beberapa generasi harapan bangsa ini menunjukkan sebuah optimisme perbaikan bangsa menuju Indonesia yang madani.
Sejak terjadinya krisis Asia 1997 yang berimplikasi pada krisis moneter di Indonesia, segala sendi-sendi ekonomi mulai memperlihatkan ketidakmampuannya dalam mempertahankan diri dari rongrongan krisis yang menggemparkan seluruh negara di Asia. Banyak perusahaan di Indoensia yang menjadi bangkrut karena ketidakmampuannya menyesuaikan diri dari jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara ekstrem. Angka pengangguran pun secara signifikan meningkat, PHK terjadi secara massif karena efisiensi biaya produksi. Institusi-institusi negara mengalami degradasi akibat keterbatasan negara dalam pembiayaan. Terlebih lagi, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi bahan perdebatan yang kontroversial sehingga memicu krisis kepercayaan masyarakat. Krisis politik pun menyusul sehingga pada akhirnya pada tahun 1998, aliansi mahasiswa berhasil menurunkan rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun lamanya. Supremasi sipil lambat laun menunjukkan legitimasinya dalam menjalankan politik yang berkebebasan. Keran demokrasi dibuka selebar-lebarnya sebagai bentuk pengakuan pemerintah terhadap supremasi sipil.
Dalam era reformasi, pergantian kepemimpinan selama empat kali ternyata masih belum menunjukkan kemajuan yang bisa dibilang signifikan, bahkan cenderung gagal total. Tantangan-tantangan berat dalam segala dimensi menuntut para pemimpin bangsa ini harus lebih sigap dan reaktif. Namun meskipun fondasi ekonomi yang dibangun pada era reformasi masih belum kokoh, tidak dapat kita pungkiri bahwa terdapat kemajuan-kemajuan berarti yang fundamental. Hal ini dapat kita lihat dari kestabilan nilai tukar rupiah saat ini yang berkisar di level Rp 9.000,00-Rp 9.200,00 per dollar AS setelah sempat mencapai titik ekstrem Rp18.000,00 per dollar AS. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencapai level tertinggi dalam enam tahun terakhir mencapai Rp 1.800,00 an..Setidaknya pemerintah bisa sedikit melakukan justifikasi atas keberhasilan penciptaan stbilitas moneter meskipun dalam jangka pendek.
Kembali kepada pembahasan awal, tentang kerangka visi Indonesia 2030 yang disampaikan oleh Yayasan Indonesia Forum di istana negara (22/03), terdapat beberapa poin penting yang disampaikan. Antara lain Indonesia yang diprediksi akan masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia setelah Cina, India, AS, dan Uni Eropa dengan pendapatan per kapita mencapai 18.000,00 dollar AS. Selain itu, setidaknya 30 perusahaan Indonesia akan termasuk dalam jajaran 500 besar perusahaan dunia. Tingkat inflasi yang berada pada level 4,95 % per tahun, dan pertumbuhan ekonomi riil rata-rata mencapai 7,62% per tahun (Kompas, 23/03).
Ketika kita melihat dan membaca betapa gelegarnya pemberitaan media terhadap optimisme ini. Seolah-olah pemerintah ingin mengajak masyarakat untuk mengejar optimisme ini menjadi sebuah kenyataan. Bisa dibilang, pemerintah mencekoki kita dengan pesan “masih belum terlambat loh!!”. Tesis ini bisa saja kita terima dengan sedikit berbangga diri. Namun kita juga jangan lupa realitas yang ada saat ini. Bukan berarti hal ini menjadi sebuah utopia belaka. Setidaknya perlu kerja keras dan kerja sama seluruh elemen bangsa dalam mewujudkan cita-cita bersama tersebut.
Perlu berpikir seribu kali untuk mencari solusi permasalahan bangsa yang sudah dalam tingkat mengkhawatirkan ini. Budaya korupsi telah menjadi gerakan kultural dan struktural yang semakin lama semakin menggerogoti bangsa ini apabila tidak segera diobati. Institusi publik yang dibentuk seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata masih belum menunjukkan efektivitasnya dalam menyelesaikan masalah ini. Bahkan ekstremnya, pembentukan institusi publik itu hanya semakin menjadikan para tikus koruptor semakin terampil dalam mencari santapan basahnya.
Sistem pemerintahan dengan penerapan check and balance tidak dapat pula diandalkan. DPR yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyatnya justru malah terjebak dalam disparitas kepentingan, entah itu kepentingan kelompok maupun kepentingan pribadi. Implikasi dari hal itu, sangat sulit bagi kita untuk membentuk sebuah konsolidasi bersama dalam menghadapi permasalahan bangsa. Masing-masing saling sikut, saling unjuk gigi, bahkan saling menjatuhkan. Apabila kita melihat kabar-kabar yang tersiar di media, masih segar dalam ingatan kontroversi PP No.37 tahun 2006 tentang pemberian tunjangan bagi anggota DPR (Dewan Pemeras Rakyat) sampai pemberian laptop terhadap DPR, dengan alasan menunjang kinerja anggota dewan, yang baru saja digagalkan. Lantas kenapa mau jadi anggota dewan kalau sudah tau negara ini masih miskin. Lebih lanjut lagi, belum sempat kita lega terhadap empati semu yang ditunjukkan oleh DPR pusat, justru malah DPRD (Kep. Riau, Sumatera Barat) yang sudah menerima laptop baru. Ternyata paham kebangsaan dan kerakyatan tidak juga mempengaruhi pola pikir anggota dewan.
Sangat disayangkan apabila masyrakat bangsa ini telah berada pada kondisi dimana tidak adanya moralitas bersama yang dibentuk melalui mekanisme kehidupan berbangsa dan bernegara. Meminjam istilah seorang politikus terkenal, Hanant Arendth tentang banality of evil, dikatakan bahwa dalam takaran kolektif, sebuah tindakan buruk sekalipun akan menjadi sesuatu yang mempunyai nilai-nilai yang diakui bersama sebagai tindakan yang baik. Apakah penyakit ini yang sudah menimpa bangsa kita? Wacana yang ada, justru infrastruktur-infrastruktur politik, seperti partai politik, menjadi basis-basis institusionalisasi kekuasaan yang dijadikan sebagai senjata yang mengantarkan kepada tampuk jabatan. Tidak sampai disitu, kursi basah yang telah didapatkan itulah yang merupakan sumber abusing of power. Menyedihkan bukan!
Satu hal yang luar biasa, yaitu ditengah keterpurukan yang dilanda bangsa kita saat ini, baik karena rentetan bencana yang terjadi hingga masih carut-marutnya institusi-insititusi negara dalam menjalankan perannya, ternyata masih ada setitik keyakinan akan masa depan bangsa yang gemilang. Sampai-sampai sang presiden kita, SBY, mengatakan “Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menciptakan mimpi dan mewujudkanya dalam realitas”(Kompas 23/03). Kita wajib meyakini dan mempunyai sebuah pandangan bersama untuk meraih kebangkitan Indonesia. Dapat kita lihat bangsa yang telah maju saat ini, misalnya India, mereka mengawali proses kebangkitan itu dengan sebuah optimisme nasionalistik Mahatma Gandhi yang mengantarkannya kepada sebuah pola transisi cara pandang masyarakat terhadap negaranya.
Para pemimpin bangsa harus bisa mengubah cara pandang masyarakat ini terhadap bangsanya. Gejala-gejala degradasi kebangsaan sudah dapat kita lihat secara jelas dalam fenomena yang terjadi di masyarakat kita kini. Berapa banyak masyarakat yang sudah tidak lagi bangga menjadi orang Indonesia. Berapa banyak pula generasi harapan yang sudah apatis terhadap apa yang menipa bangsa ini. Hal ini makin lama akan menjadi fenomena gunung es apabila pemimpin-pemimpin bangsa ini masih terbuai dengan jabatan yang didapatkan. Mau tidak mau, harus ada sebuah logical framework yang mengantarkan bangsa ini menjadi lebih beradab.
Seandainya kita dapat menerima gagasan-gagasan yang mudah-mudahan bukan hanya mimpi belaka itu, setidaknya ada beberapa hal yang harus kita kritisi mulai dari sekarang. Pertama, bahwa diperlukan komitmen yang terintegrasi dalam semangat kebangsaan, persatuan, dan kesatuan diantara para elit yang menjalankan pemerintahan. Mengapa hal ini diperlukan? Karena sinergi yang terjadi diantara elit tersebut akan membentuk sebuah ketahanan nasional yang merupakan senjata pokok untuk mewujudkan kepentingan nasional bersama-sama, bukan gontok-gontokan seperti sekarang yang justru akan menjadikan kita sebagai wong cilik berpikir tentang apa yang diperjuangkan oleh wong licik yang ada disana. Selain itu juga untuk menghindari potensi disintegrasi bangsa dengan memunculkan kembali identitas-identitas kultural kebangsaan yang pluralistik.
Kedua, efektivitas dan efisiensi birokrasi yang menjamin institusi negara sebagai subjek perwujudan tata cara pemerintahan yang bersih atau good governance. Saat ini, kita masih terkenal dengan kultur birokrasi yang berasaskan ABS atau “Asal Bapak Senang” . Padahal, sudah berapa triliun anggaran negara yang dihabiskan untuk membayar para birokrat-birokrat ini. Hal inilah yang harus diubah secara integral dan kultural sehingga visi bersama bukan mimpi lagi.
Ketiga, adalah pembangunan berbasis sumber daya manusia, alam, teknologi yang berkualitas dan berkelanjutan. Artinya komitmen pembangunan SDM tersebut dapat direalisasikan dalam bentuk pengelolaan sistem dan fasilitas pendidikan nasional yang accesible dan qualified hingga tingkat akar-rumput. Sebenarnya kunci dari efektivitas pengelolaan alam dan kemajuan teknologi kembali terletak pada kualitas SDM. Lihat saja bukti-bukti konkret yang ada saat ini, bagaimana komitmen Jepang terhadap pendidikan dan riset yang membawa negara itu menjadi negara yang tergolong kuat secara ekonomi dan teknologi. Akhir-akhir ini, ternyata perkembangan menakjubkan ekonomi Cina juga tidak dapat ditinggalkan dari komitmen pemerintahnya dalam menjamin kualitas pendidikan dan aktivitas riset. Kedepannya, pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN masih mandul apabila pemerintah belum bisa menjamin peningkatan kualitas dan partisipasi masyarakat dalam pendidikan.
Terakhir, makin derasnya arus globalisasi harus disikapi dengan bijak dan hati-hati. Secara sederhana, hal ini menunjukkan betapa perlunya negara harus memperhatikan mekanisme persaingan global dalam pasar dan arus finansial. Kenici Ohmae dalam bukunya “Keruntuhan Negara-bangsa” mengedepankan tentang globalisasi yang akan menciptakan resultansi kedalam beberapa hal yang mencakup investasi dan industrialisasi.. Negara demokrasi baru (Anthony Giddens, 1999) haruslah memperhatikan aspek keadilan untuk menciptakan sebuah negara kesejahteraan. Artinya, negara memang harus mempertimbangkan investasi, dan juga mekanisme-mekanisme pasar yang dibentuk sebagai hasil dari globalisasi, namun juga harus mempertimbangkan aspek publik dimana negara sebagai insititusi yang membentuk kontraknya dengan masyarakat. Dalam hal ini, kaitannya adalah Indonesia harus mampu membentuk perekonomian yang terintegrasi dengan kawasan dan global dengan memperhatikan aspek kesimbangan pasar yang terbentuk.
Bagaimanapun, sebuah optimisme merupakan sesuatu yang beradab disaat-saat genting sekarang. Sedikit mengenang tentang romantisme sejarah bukanlah permasalahan, asal jangan menjadikan hal itu sebagai subjektivitas belaka. Mengutip kata-kata Jhon F. Kennedy, “ Jangan tanyakan apa yang diberikan negara kepadamu, tetapi apa yang kamu berikan untuk negaramu ini”. Majulah bangsaku, majulah Indonesiaku !!