Thursday, November 12, 2009

Kemenangan Democrat Party of Japan (DPJ): Arah Baru Kebijakan Pemerintahan Jepang

Baru beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Agustus 2009, Jepang melaksanakan Pemilihan Majelis Rendah Jepang. Pemilihan yang diadakan kembali setelah tahun 2003 tersebut, memberikan momentum kemenangan tersendiri bagi partai oposisi Jepang, yaitu Democrat Party of Japan (DPJ), yang untuk pertama kali dalam sejarah pemerintahan Jepang mampu memenangi mayoritas Majelis Rendah Jepang. Kemenangan partai oposisi tersebut sekaligus memaksa partai yang berkuasa sejak 54 tahun terakhir, yaitu Liberal Democratic Party (LDP), untuk memberikan mandat kekuasaannya kepada DPJ. Bukanlah sesuatu yang tabu lagi, bahwa sebelumnya partai oposisi Jepang tersebut telah memenangi suara mayoritas pula di Majelis Tinggi Jepang, pada Pemilihan Majelis Tinggi Jepang di bulan Juli 2007. Namun, kemenangan pada Majelis Tinggi Jepang masih belum mampu mengantarkan pemimpin politik DPJ pada waktu itu, yaitu Ichiro Ozawa, dalam mengambil alih kepemimpinan negara. Hal ini dikarenakan pada tahun 2007, LDP masih menguasai suara mayoritas penuh Majelis Rendah Jepang.
Berhasilnya DPJ dalam mengambil alih kepemimpinan pemerintahan Jepang, mengantarkan Presiden DPJ, Yukio Hatoyama, sebagai Perdana Menteri Jepang sejak 16 September 2009, menggantikan Perdana Menteri Taro Aso yang dari LDP. Terdapat beberapa hal yang menarik perhatian bagi semua pihak terkait perubahan pemerintahan Jepang tersebut. Pertama, bagaimanakah pengaruh kondisi domestik serta kondisi eksternal yang mengakibatkan kekalahan LDP yang sudah berkuasa sejak 54 tahun terakhir?? Kedua, bagaimanakah platform kebijakan yang akan diterapkan oleh pemerintahan Jepang dibawah Hatoyama? Ketiga, Akankah ada perubahan secara fundamental terhadap penerapan strategi politik luar negeri Jepang pasca kemenangan DPJ, serta bagaimanakah reaksi dunia internasional termasuk regional? Keempat, bagaimana pula prospek aliansi Jepang-AS pada pemerintahan Hatoyama, mengingat DPJ merupakan pihak yang secara tegas menolak paket Undang-Undang Anti-Terorisme yang salah satu isinya adalah pengerahan kekuatan Jepang untuk mendukung misi militer AS di Afganistan? Terakhir, bagaimana pula prospek hubungan Jepang dengan negara tetangga termasuk Indonesia? Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengurai dan menganalisis bahasan tersebut secara mendalam terkait pertanyaan pokok yang diajukan diatas.

Pemerintahan LDP Jepang Pasca Kepemimpinan Koizumi

Pemerintahan Abe
Pasca resminya Perdana Menteri Koizumi resmi turun tahta pada bulan September 2006, maka tampuk kepemimpinan Jepang diserahkan kepada tokoh senior LDP, yaitu Shintaro Abe. Abe secara resmi dilantik sebagai perdana menteri pada bulan September 2006 setelah memenangi pemungutan suara dalam Majelis Nasional Diet Jepang. Kemenangan tersebut merupakan berkah dari masih bertahannya mayoritas kursi LDP dalam Majelis Rendah Jepang (Shugiin), walaupun pada Majelis Tinggi (Sangiin), telah dikuasai oleh mayoritas DPJ.
Pasca dilantiknya Abe sebagai perdana menteri Jepang yang baru, tentu bukanlah sesuatu yang mudah bagi Abe untuk mempetahankan kepercayaan publik terhadap kepemimpinannya serta citra LDP dalam pemerintahan. Jepang pasca Koizumi masih memerlukan terobosan gagasan yang dirasakan seluruh masyarakat Jepang, seperti masyarakat berpenghasilan menengah atas dan masyarakat kota, termasuk pula petani, golongan pengangguran, masyarakat golongan muda, serta masyarakat golongan tua. Selain itu, Abe juga harus siap dalam menghadapi manuver-manuver kebijakan partai oposisi, DPJ, yang akan selalu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.
Pada bulan April 2006, Ichiro Ozawa dilantik menjadi pemimpin partai oposisi DPJ. Tepat dimasa awal pemerintahan PM Abe, Ozawa secara aktif melakukan kampanye-kampanye citra DPJ terhadap pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan LDP, yaitu golongan petani. Golongan petani merasa di nomor-duakan oleh pemerintah Jepang yang memfokuskan pada kemajuan sektor industri besar. DPJ juga mengkritisi adanya elit senior birokrat yang masih menduduki jabatan pemerintahan. Dalam hal ini, DPJ tidak menginginkan elit senior birokrat untuk menduduki jabatan pemerintahan. Hal ini dikarenakan DPJ memandang bahwa perlu ada efisiensi dan efektivitas birokrasi dalam pemerintahan Jepang. Mengingat bahwa Jepang telah mengeluarkan sebagian besar anggarannya pada pos birokrasi pemerintahan (Arase, 2009).
Pada awal tahun 2007, pemerintahan PM Abe kembali diuji dengan pengunduran diri lima menterinya, empat diantaranya dikarenakan skandal, dan satu menteri terkena kasus korupsi. DPJ di dalam sidang pembahasan Undang-Undang Anti-terorisme Jepang, dengan tegas menolak salah satu isi undang-undang yang memberikan otoritas bagi Self-Defense Force (SDF) dalam hal pengisian bahan bakar ke kapal Angkatan Laut AS di Samudera India, untuk kepentingan perang di Afganistan. Penolakan DPJ pada masa pemerintahan PM Abe tersebut memberikan pengaruh besar terhadap pengunduran diri PM Abe pada tanggal 12 September 2007 (Arase, 2009: 108).

Pemerintahan Yasuo Fukuda
Yasuo Fukuda, menjadi perdana menteri Jepang sejak bulan September 2007 menggantikan PM Abe yang telah mengundurkan diri. Fukuda juga merupakan tokoh senior LDP dan berusia 71 tahun ketika menjabat sebagai perdana menteri. Landasan kebijakan yang dijalankan oleh PM Fukuda adalah melanjutkan pembahasan tentang UU Anti-terorisme yang pernah ditolak oleh partai oposisi DPJ. Fukuda menjadikan UU Anti-terorisme sebagai prioritas kebijakan yang harus diselesaikan. Fukuda memulainya dengan memperpanjang sidang parlemen (Diet) sampai Januari 2008, sehingga Fukuda berhasil memasukkan anggaran anti-terorisme pada bulan April 2008 setelah tahun fiskal yang baru dimulai.
Dalam bidang energi, PM Fukuda melaksanakan kebijakan pembaruan pajak penggunaan bensin, yang dipandang sebagai kebijakan yang tidak populer. Hal ini disebabkan karena pada waktu kebijakan diterapkan, harga minyak dunia sedang meningkat tajam. Dalam kesempatan tersebut, DPJ melakukan manuver politik dengan menolak paket pembaruan pajak penggunaan bensin yang diajukan oleh PM Fukuda pada bulan Februari 2008. Akibatnya, masyarakat dapat menikmati harga bensin yang relatif murah berkat perjuangan DPJ menolak paket kebijakan pembaruan pajak bensin tersebut (Konishi, 2009).
PM Fukuda dihadapkan pada sebuah tekanan yang berasal dari DPJ, atas ketidak-mampuannya dalam memilih Gubenur Bank Jepang yang baru. Pemilihan tersebut merupakan hal yang sangat vital, mengingat koordinasi kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kordinasi finansial global sangat diperlukan. DPJ dalam hal ini menolak adanya senior birokrat yang telah pensiun untuk menduduki kembali jabatan pemerintahan. Secara nyata, PM Fukuda memilih nama-nama calon Gubenur Bank Jepang yang berasal dari pensiunan birokrat. Namun pada akhirnya, PM Fukuda menawarkan nama Shirakawa Masaaki sebagai Gubernur Bank Jepang sejak April 2008 (Arase, 2009).
Kenyataan politik domestik tidak lantas mempengaruhi upaya PM Fukuda dalam menjalankan strategi politik luar negerinya. Jepang pada masa PM Fukuda berhasil memperkuat kerjasamanya dengan Amerika Serikat. Selain itu, Jepang juga berhasi mempererat hubungannya dengan China, Korea Selatan, dan juga ASEAN. PM Fukuda juga mengadakan pembicaraan tentang komunitas keamanan dan demokrasi bersama India dan Australia sebagai dampak dari kebangkitan China di kawasan. PM Fukuda juga berhasil meyakinkan China tentang komitmennya dalam menjalin hubungan baik dengan menyatakan tidak akan mengunjungi kuil Yasukuni.
Dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya, PM Fukuda mengalami beberapa miskalkulasi. Seperti pada bulan Februari 2008, telah terjadi tabrakan antara kapal perang SDF dengan kapal penangkap ikan di perairan Jepang. PM Fukuda tidak dapat membarikan alasan yang rasional tentang hal ini. Selain itu, miskalkulasi juga terjadi dalam hal penerapan kebijakan kesehatan yang sejak pemerintahan PM Abe, masyarakat tidak merasakan pelayanan dan akses kesehatan yang semakin baik. Hal ini mendorong merosotnya tingkat dukungan publik dari 55% pada bulan Oktober 2007, menjadi 20% pada bulan Mei 2008. DPJ memanfaatkan momen tersebut untuk segera mendesak pemilihan kembali Majelis Tinggi Jepang. Namun upaya DPJ tersebut tidak disetujui oleh mayoritas parlemen Jepang. Fukuda mengundurkan diri pada bulan September 2008 setelah melakukan reshuffle kabinet dengan mengganti Taro Aso dari jabatan Menteri Luar Negeri Jepang menjadi Sekjen LDP (Arase, 2009: 109).

Pemerintahan Taro Aso
Taro Aso merupakan pengganti PM Fukuda sejak tanggal 24 September 2008. Aso merupakan tokoh yang dicalonkan oleh LDP untuk menduduki kursi perdana menteri Jepang yang baru. Tingkat dukungan publik pada Aso sebesar 49,5%, 10 poin lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Tingkat dukungan bagi Aso juga merupakan yang terendah diantara para pendahulunya, dimana Fukuda dengan 57,5% dan Abe dengan 70,3%. Selain itu, PM Aso juga dihadapkan pada permasalahan impor beras bermasalah, dimana beras yang didatangkan oleh pemerintah Jepang adalah beras yang sudah terkontaminasi. Hal ini menimbulkan pemberitaan yang negatif terhadap PM Abe dan juga Menteri Pertanian Jepang, Ota Seiichi.
PM Aso menjalankan kebijakan sama seperti para pendahulunya. Tidak terdapat perubahan yang dapat dirasakan oleh masyarakat Jepang. Terlebih, ketika krisis finansial global melanda dan membawa dampak bagi Jepang. Jepang merupakan negara yang mengandalkan perekonomiannya dari sektor ekspor produk. Maka ketika pemintaan konsumen global menurun, Jepang mengalami penurunan permintaan domestik dan juga permintaan luar negeri juga. Oleh karena itu, gelombang PHK juga terjadi secara masif di Jepang pada periode PM Aso, yang juga sekaligus periode krisis finansial global. PM Aso mengeluarkan paket stimulus sebesar US$284 milyar, yang digunakan sebagai stimulus ekonomi, pembiayaan pemilihan Majelis Rendah Jepang, dan juga sebagai biaya rekonstruksi fiskal Jepang (Arase, 2009: 112).
PM Aso menyelesaikan jabatannya sebagai perdana menteri Jepang setelah diadakan pemilu Majelis Rendah Jepang pada bulan Agustus 2009. Pemilu Majelis Rendah Jepang dimenangkan oleh DPJ dengan mayoritas kursi, sehingga kepemimpinan Jepang saat itu pula dihadapkan pada satu prospek perubahan di tangan pemimpin DPJ.

DPJ: Menuju Kekuasaan Fenomenal
Democrat Party of Japan (DPJ) merupakan sebuah partai yang didirikan pada bulan April 1998. Partai ini merupakan gabungan dari empat partai yang terdiri dari Democrat Party of Japan (DPJ), Good Governance Party (GGP), New Fraternity Party (NFP) dan juga Democrat Liberal Party (DLP). Pada bulan Mei 2003, satu partai lagi yang mendeklarasikan diri untuk bergabung dengan DPJ, yaitu Centre-right Liberal Party (CRLP) yang dipimpin oleh Ichiro Ozawa. DPJ juga merupakan partai yang sebagian kadernya berasal dari Partai Sosialis atau Socialist Party (Konishi, 2009 : 2).
Ichiro Ozawa, menduduki posisi yang sangat penting dalam membawa DPJ ke dalam tampuk kekuasaan. Ozawa memimpin DPJ sejak bulan April 2006 sampai bulan Mei 2009. Ozawa memimpin DPJ dalam tiga periode kepemimpinan, sampai ada akhirnya dia mengundurkan diri karena skandal bantuan keuangan ilegal dalam tubuh DPJ. Keberhasilan DPJ dalam meraih kekuasaan saat ini tidak bisa dipisahkan dari usaha-usaha pembangunan citra serta tindakan politik yang dijalankan oleh DPJ dibawah pimpinan Ozawa.
Sejak pertama kali memimpin DPJ pada tahun 2006, Ozawa melakukan serangkaian manuver politik melawan pemerintahann berkuasa PM Abe. Ozawa berhasil melakukan pendekatan terhadap rakyat dan juga mengambil perhatian publik dikarenakan tindakan politiknya. Ozawa melakukan perjalanan mengelilingi Jepang untuk bertemu dan berdialog dengan para petani dan para pengangguran. Kelompok tersebut merupakan kelompok yang dikecewakan oleh kebijakan pemerintahan dibawah pimpinan PM Abe yang berasal dari LDP. Usaha Ozawa ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Pembangunan citra serta pendekatan yang dia lakukan ternyata berhasil membawa DPJ memenangi pemilu Majelis Tinggi Jepang pada bulan Juli 2007 dengan menguasai mayoritas kursi sebesar 109 kursi (39,5%), jauh melampaui capaian LDP yang hanya memperoleh 83 kursi (28,1%).
DPJ telah menjalankan fungsinya sebagai partai oposisi yang siap mengkritisi dan mengawasi pemerintahan secara proaktif. DPJ dalam pimpinan Ozawa, telah menjalankan serangkaian kebijakan pro-rakyat dan juga pro-nasional. DPJ pada masa pemerintahan PM Abe dan PM Fukuda, telah mengkritisi kepemimpinan keduanya yang dari LDP, sebagai kepemimpinan yang tidak memiliki kompetensi. Selain itu, isu korupsi juga mencuat ketika PM Abe dan PM Fukuda menjalankan pemerintahan. Hal ini praktis membawa implikasi terhadap stabilitas kinerja kabinet, yang ditandai dengan pengunduran diri beberapa menteri kabinet karena terkait isu skandal dan korupsi. DPJ dalam hal ini, mengkritisi tentang adanya amakudari dalam pemerintahan yang seharusnya tidak lagi diberikan prosi dalam jabatan pemerintahan.
Dalam serangkaian kunjungan Ozawa ke Beijing pada bulan Desember 2007, dia bertemu dengan Presiden China Hu Jintao. Pada kesempatan tersebut, Ozawa berikrar untuk tidak akan mengunjungi Kuil Yasukuni apabila DPJ menjadi perdana menteri. Dua bulan kemudian, tepatnya pada bulan Februari 2008, Ozawa melakukan kunjungan ke Seoul Korea Selatan, dan bertemu dengan Presiden Lee Young Dae. Pada kesempatan itu pula, Ozawa berjanji pada Presiden Lee bahwa dalam pemerintahan DPJ kelak, warga negara Jepang keturunan Korea akan diberikan hak pilihnya. Hal ini saya pandang sebagai sebuah sinyalemen baik bagi kepemimpinan DPJ. Ozawa juga memperlihatkan itikad baik untuk menjalin hubungan kerjasama yang didasarkan pada persahabatan dan rasa saling percaya (Arase, 2009: 115).
DPJ dibawah pimpinan Ozawa juga mengeluarkan kebijakan penolakan terhadap kebijakan pembaruan pajak penggunaan bensin pada pemerintahan PM Abe dan PM Fukuda. Sehingga pada akhirnya, DPJ mendapat limpahan dukungan publik dikarenakan publik menikmati bensin yang terjangkau tanpa harus menaikkan insentif pajak. Selain itu pula, DPJ selalu menyatakan penolakannya atas Undang-Undang Anti-terorisme yang merupakan cerminan kedekatan hubungan Jepang dengan Amerika Serikat. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa SDF Jepang membantu pengisian bahan bakar kapal angkatan laut AS di Samudera India, dalam misinya melawan terorisme di Afganistan. DPJ dalam hal ini menyatakan bahwa respon SDF di Darfur lebih dibutuhkan dibandingkan dengan bantuan SDF ke angkatan laut AS (Smith, 2009).
Kepemimpinan Ozawa di DPJ berakhir dikarenakan adanya dugaan skandal keuangan pada masa PM Fukuda, dimana Ozawa beserta DPJ ditawarkan sebuah skema koalisi besar. Namun ketika Ozawa membawa tawaran PM Fukuda tersebut di dalam DPJ, 44 dari 47 orang anggota DPJ pusat menolak. Selain itu, Ozawa juga mendapat kasus dugaan donasi ilegal dari fundraising sebesar 21 juta yen. Hal ini menjadikan Ozawa menyerahkan kepemimpinan DPJ kepada Yukio Hatoyama pada bulan Mei 2009. Mundurnya Ozawa sebagai pemimpin DPJ tidak membuat Hatoyama bergerak sendiri dalam menjalankan roda partai. Hatoyama masih mempercayakan Ozawa dalam kepemimpinan partai dan menjadikannya sebagai sekertaris jenderal (sekjen) DPJ (Konishi, 2009: 2).
Dari serangkaian strategi tersebut, DPJ berhasil menggeser dominasi politik domestik yang selama ini dipegang oleh LDP. Momentum tersebut didapat DPJ sejak memenangkan pemilu Majelis Tinggi Jepang pada bulan Juli 2007 dengan memperoleh kursi mayoritas sebesar 39,5%. Kemenangan dalam Majelis Tinggi Jepang tersebut menjadikan DPJ semakin memperlihatkan manuver-manuver kebijakan pembaruannya. Sehingga DPJ pun memperoleh hasil yang setimpal pula dari kerja kerasnya, dengan memenangkan pemilu Majelis Rendah Jepang pada bulan Agustus 2009 dengan kursi mayoritas sebesar 42,4%. Dengan demikian, DPJ menguasai penuh parlemen Jepang atau Diet, dengan menguasai mayoritas kursi di Majelis Tinggi maupun Majelis Rendah. Hal ini pula kemudian mengantarkan Yukio Hatoyama sebagai perdana menteri Jepang yang baru sejak 16 September 2009, menggantikan PM Aso. Hal ini juga menandakan babak baru pemerintahan Jepang dimana dalam kurun waktu 54 tahun dapat mengalahkan dominasi LDP dalam pemerintahan.

Platform Kebijakan Democrat Party of Japan (DPJ)
a. Kebijakan Domestik DPJ
Tidak lama setelah DPJ memegang tampuk kekuasaannya dibawah PM Hatoyama, DPJ mengeluarkan serangkaian dokumen yang berisikan tentang platfrom kebijakan DPJ yang berjudul Manifesto DPJ 2009. Dalam dokumen tersebut terdapat beberapa hal penting terkait kebijakan domestik Jepang dalam pemerintahannya empat tahun mendatang.
Pertama, adalah kebijakan tentang upaya mengakhiri anggaran yang terdapat unsur pemborosan. Hal ini berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas birokrasi. DPJ tidak akan membiarkan lagi adanya para birokrat pensiun yang masih menjabat dalam birokrasi pemerintahan. DPJ juga menginginkan skema penghapusan anggaran pajak keuangan yang dipandang tidak efisien. DPJ dalam hal ini juga akan melarang perusahaan atau organisasi dalam hal pemberian donasi politik bagi partai yang bersangkutan. Upaya penghematan anggaran juga diwujudkan dengan mengurangi jumlah kursi keterwakilan daalam Majelis Rendah Jepang sebanyak 80 kursi (Manifesto DPJ, 2009).
Kedua, kebijakan bantuan pendidikan bagi anak-anak Jepang berupa dana bantuan sebesar 312.000 yen per tahun, sampai menyelesaikan sekolah tingkat pertama. Selain itu juga membebaskan biaya pendidikan sekolah serta memperbanyak jalur dan akses beasiswa secara inklusif di lingkungan pendidikan tinggi (universitas).
Ketiga, kebijakan perlindungan kesehatan dan perlindungan bagi penduduk pensiunan. DPJ dalam platform kebijakannya, akan menciptakan sebuah sistem pensiun yang lebih adil. Dalam artian bahwa DPJ akan mengeluarkan kebijakan proporsi pendapatan pensiunan serta jaminan dasar pensiunan. Hal ini ditujukan untuk menghindari penduduk Jepang yang pensiun dengan jaminan keuangan yang tidak memadai, bahkan tidak mendapat jaminan keuangan pensiun (Manifesto DPJ, 2009)..
Keempat, tentang pengangguran dan kebijakan ekonomi. DPJ akan menjalankan kebijakan pengurangan rasio pajak bagi usaha kecil dan menengah hingga 11 %. Bagi para pengangguran, DPJ akan mengeluarkan kebijakan dana bantuan bulanan sebesar 100.000 yen selama pelatihan kerja. Selain itu, DPJ juga akan memperjuangkan persamaan hak serta asuransi dan jaminan kerja bagi pekerja laki-laki dan pekerja perempuan, serta bagi pekerja tetap maupun pekerja tidak tetap. Di bidang ekonomi, DPJ akan menggantikan the Council of Economic and Fiscal Policy, sebuah badan penasihat kebijakan bagi perdana menteri, dengan National Strategy Bureau (Manifesto DPJ, 2009).

b. Strategi Politik Luar Negeri DPJ
Dalam hal penerapan politik luar negeri, DPJ telah menuangkan variabel-variabel tujuan dalam politik luar negeri di dalam Manifesto DPJ 2009.
Pertama, upaya mengembangkan strategi politik luar negeri yang proaktif, serta membangun kerjasama dan aliansi antara Jepang-AS secara sejajar. Kedua, Membangun mekanisme kerjasama intra-regional di kawasan Asia Pasifik yang ditujukan untuk membangun Komunitas Asia Timur bersama dengan ASEAN plus Three (APT). Ketiga, memastikan bahwa Korea Utara menekan perkembangan penggunaan senjata nuklir dan misil. Keempat, memainkan peran secara proaktif di dalam operasi pasukan perdamaian PBB, melanjutkan liberalisasi perdagangan dan investasi, serta bersama-sama memerangi pemanasan global. Terakhir, mengambil alih peran kunci dalam upaya menghilangkan dan mengurangi penggunaan senjata nuklir, serta menangani bahaya dan ancaman terorisme (Manifesto DPJ, 2009).

Pendekatan Jepang melalui Politik Luar Negeri di Asia Pasifik
Ketika pertumbuhan ekonomi serta pembangunan terjadi, banyak pertanyaan ditujukan pada prospek Asia Timur dalam menciptakan momentum pemegang peranan kunci dalam pertumbuhan regional. Jepang merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia serta kekuatan ekonomi Asia. Kekuatan industrialisasi di Jepang, China dan Korea Selatan memiliki pengaruh yang besar bagi perekonomian dunia (Drysdale and Elek, 1997).
Jepang merupakan negara dengan kekuatan ekonomi kedua terbesar setelah Amerika Serikat. Dalam menjalankan strategi politik luar negerinya di kawasan Asia Pasifik, Jepang merupakan negara yang dikenal bersahabat. Jepang juga dikenal proaktif dalam mengikut-sertakan dirinya dalam kerangka kerjasama regional, dalam upaya menumbuhkan sikap saling percaya, menjaga perdamaian, serta menciptakan kondisi yang bersahabat dalam kerjasama kawasan. Hal ini terbukti dengan keikutsertaan Jepang dalam beberapa forum kerjasama regional seperti Asia-Pasific Economi Community (APEC), ASEAN plus Three (APT), ASEAN Regional Forum (ARF), Pacific Economic Cooperation Council (PECC), serta keikut-sertaan Jepang dalam membangun pondasi terciptanya East Asia Community (EAC).

a. Peran dalam Kerjasama Ekonomi Kawasan
Kerjasama ASEAN dengan Jepang sudah terjalin sejak lama, yaitu sejak tahun 1977 dengan diresmikannya ASEAN-Japan Forum yang merupakan pertemuan antara pejabat tinggi Jepang dengan ASEAN. Bagi ASEAN, Jepang merupakan mitra dialog yang aktif. Intensitas kerjasama Jepang dengan ASEAN menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai proyek dengan pembiayaan Jepang dalam kerangkan kerjasama Japan-ASEAN General Exchange Fund (JAGEF), Japan-ASEAN Economic Partnership (JAEP), Japan-ASEAN Integration Fund (JAIF), serta skema Chiang Mai Initiative (Deplu RI, 2007: 116-118).
Jepang merupakan negara anggota ASEAN plus Three (APT) sejak awal dibentuknya pada tahun 1999. Pembentukan APT tidak bisa dilepaskan dari peran Jepang sebagai negara yang proaktif dalam membangun dan menciptakan kerangka kerjasama yang saling menguntungkan. Krisis ekonomi pada tahun 1998 yang melanda sebagian besar negara-negara ASEAN dan negara Asia umumnya, menumbuhkan kesadaran pada negara-negara anggota APT, untuk menciptakan dan menjaga struktur ekonomi yang kokoh di kawasan. Salah satu produk dari APT adalah dengan dibentuknya skema cadangan dana antisipasi dampak krisis ekonomi bagi negara-negara ASEAN. Skema tersebut dituangkan dalam Chiang Mai Initiative (CMI). Pada KTT ASEAN ke-15 di Hua Hin, Thailand 2009, Jepang bersama China dan Korea Selatan bersedia memberikan dana antisipasi sebesar US$ 120 miliar yang diperuntukkan bagi negara-negara ASEAN (Kompas, 26 Oktober 2009).

b. Isu Keamanan Kawasan
Kawasan Asia Pasifik serta Asia Timur merupakan lingkaran konsentrik penerapan strategi politik luar negeri Jepang. Betapa tidak, kawasan ini merupakan salah satu kawasan konfliktual yang masih menyisakan pertanyaan tentang keamanan dan perdamaian kawasan. Sejak Perang Dunia II, tingkat ketegangan kawasan relatif menurun dengan menyerahnya Jepang ditangan sekutu pada bulan Agustus 1945. Hal itu pula yang sekaligus mengakhiri dominasi kolonialisme Jepang di sebagian besar kawasan Asia Pasifik dan Asia Timur termasuk Indonesia.
Pasca Perang Dunia II, ternyata masih belum membawa kawasan Asia Pasifik dan Asia Timur menjadi kawasan yang damai. Kawasan tersebut justru menjadi sasaran bagi pengaruh dua blok, yaitu Blok Timur dan Blok Barat. Perang Dingin memaksa kawasan Asia Pasifik dan Asia Timur kembali pada tingkat kerentanan yang sama pada saat Perang Dunia II. Sebagai contoh adalah Perang Korea (Korea Selatan vs Korea Utara) pada tahun 1950-1953 yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hubungan China dan Jepang pun masih digambarkan sebagai hubungan yang penuh kehati-hatian.Pasca Perang Dingin, dapat dipastikan secara bertahap bahwa hubungan sesama negara di kawasan Asia Timur mengarah pada tingkat perkembangan yang lebih baik. Ditandai dengan turut sertanya Jepang, China, dan Korea Selatan sebagai mitra dialog ASEAN sejak tahun 1990-an. Selain itu, ketiga negara tersebut juga mengikuti kerjasama penanganan keamanan dalam kerangka ASEAN Regional Forum (ARF).
Upaya Jepang dalam isu keamanan regional juga diperlihatkan dengan proaktifnya Jepang pada masa pemerintahan Koizumi hingga Taro Aso, dalam merespon setiap itikad baik negara tetangga dalam upaya penciptaan kondisi damai. Hal ini ditunjukkan dengan ikutnya Jepang dalam mekanisme dialog enam negara atau Six Party Talk dalam penyelesaian Nuklir Korea Utara. Seperti yang kita ketahui bahwa isu nuklir Korea Utara merupakan isu sensitif berkaitan dengan hubungan antar negara di kawasan. Dalam kasus Korea Utara, terdapat kompleksitas hubungan yang menunjukkan dinamika kawasan. Korea Utara merupakan negara berhaluan komunis yang menjalankan kebijakan isolasi serta kebijakan produksi persenjataan nuklir. Hal ini bertentangan dengan perjanjian Nuclear non-Proliferation Treaty (NPT) yang melarang setiap negara menjadi produsen senjata nuklir setelah NPT diratifikasi dan ditandatangani pada tahun 1968.
Korea Utara memiliki hubungan yang dekat dengan China yang sama-sama berhaluan komunis. China dalam setiap kesempatan isu nuklir Korea Utara di DK PBB selalu menolak untuk turut serta lebih jauh. Hal ini mengingat pertimbangan China atas pengaruhnya di kawasan terhadap Korea Utara. Sedangkan Jepang, dalam kasus ini, selalu memberikan sikap yang sejalan dengan asas keamanan regional serta kerjasamanya dengan Amerika Serikat. Jepang dalam kasus Korea Utara mengambil sikap berhati-hati serta responsif terhadap ambisi nuklir Korea Utara. Mengingat bahwa Jepang pasca Perang Dunia II hanya dibekali dengan sistem perlindungan diri ala Self-Defense Force (SDF) serta kerjasama militer yang masih bergantung pada Amerika Serikat. Oleh karena itu, Jepang memandang bahwa merupakan hal vital yang berkaitan dengan kepentingan keamanan nasional, untuk turut serta bersama-sama Amerika Serikat dalam Six Party Talk (Andrea dalam Analisis CSIS, 2004).
Selain itu, Jepang juga mengikuti mekanisme kerjasama ASEAN Regional Forum (ARF) dalam penanganan isu keamanan bersama serta penyelesaian sengketa secara regional dalam kerangka ASEAN. Hal tersebut menandakan bahwa Jepang menganggap penting kerjasama kawasan di bidang keamanan bersama ini. Jepang juga menganggap penting peran ASEAN dalam menciptakan solidaritas Asia Timur nantinya. Dalam pertemuan ARF, Jepang selalu mengirimkan perwakilan untuk membahas masalah keamanan serta solusi bersamanya dalam konteks regionalisme.

c. Aliansi Strategis Jepang-AS di Asia Timur
Jepang merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Keberadaan Jepang sebagai kekuatan ekonomi di Asia Timur membawa arti penting bagi Amerika Serikat dalam membina kerangka kerjasama bilateral, tidak hanya di bidanh ekonomi, tetapi di bidang militer. Kerjasama bilateral antara Jepang-AS di bidang militer telah terbentuk sejak lama. Hal ini berkaitan dengan kenyataan sejarah pasca Perang Dunia II dimana Jepang kalah melawan tentara sekutu yang dipimpin oleh AS. Sejak saat itu, konstitusi Jepang tahun 1947 menghapuskan keharusan Jepang dalam memiliki armada perang. Sebagai gantinya, Amerika Serikat menawarkan kerjasama militer dalam bentuk operasi bersama. Kerjasama tersebut dituangkan dalam Mutual Security Assistance Pact tahun 1952, dimana merupakan cikal bakal berdirinya Self-Defense Force (SDF). Selain itu, kerjasama militer dikembangkan kembali beberapa tahun berikutnya, sehingga melahirkan kerangka kerjasama dalam Mutual Cooperation and Security pada tahun 1960 (Wakabayashi, 2008: 4-6).
Aliansi yang dibentuk Jepang dengan AS tersebut merupakan kerjasama keamanan bilateral yang utama bagi kedua negara. Jepang, merupakan negara yang memiliki kepentingan untuk menjaga keamanan nasional dari kemungkinan ancaman yang datang dari lingkungan eksternalnya. Kerangka kerjasama yang sudah dibentuk menghasilkan sistem proteksi dan sistem pertahanan bersama Jepang-AS di kawasan Asia Pasifik dan Asia Timur. Sistem pertahanan tersebut misalnya SDF, operasi keamanan bersama, serta kerjasama dalam perang melawan terorisme. Sedangkan Amerika Serikat, memerlukan Jepang dalam menempatkan basis militernya di pulau Okinawa. Kepentingan AS dalam hal ini adalah untuk mengamankan kepentingan nasionalnya di Samudera India dan Samudera Pasifik bagian barat (Okamoto, 2002: 60).
Aliansi Jepang-AS memiliki arti penting bagi kedua negara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang rentan. Bagi AS, merupakan hal yang penting dalam menjaga status quo di Asia Timur mengingat selalu ada kemungkinan konflik dalam hal militer dan perbatasan. Mengamankan dan mempertahankan status quo di Asia Timur merupakan strategi Amerika Serikat dalam mengamankan kepentingan nasional nya. Oleh karena itu, kerangka keamanan bersama Jepang-AS memberikan jaminana keamanan bersama bagi Jepang, terhadap segala kemungkinan tindakan dan provokasi eksternal yang mengancam kepentingan Jepang dan juga AS (Okamoto, 2002: 61).
Aliansi Jepang-AS pada masa PM Koizumi tidak mengalami hambatan yang berarti dari dinamika politik domestik. Namun, setelah momentum DPJ memperoleh kursi mayoritas Majelis Tinggi Jepang, kondisi politik domestik berpengaruh dalam proses strategi aliansi Jepang-AS. Modifikasi aliansi Jepang-AS dituangkan dalam Undang-undang anti-terorisme, yang salah satu isinya adalah memberikan akses bantuan pengisisan bahan bakar dari Japan Maritime SDF untuk armada kapal perang AS di Samudera India. DPJ berhasil menolak paket undang-undang tersebut sehingga bergantinya kepemimpinan Jepang di tangan PM Fukuda. Dalam pemerintahan PM Fukuda, DPJ juga berhasil menolak paket undang-undang warisan PM Abe tersebut. Namun, PM Fukuda menggunakan taktik memperpanjang waktu pembahasan undang-undang sehingga kebijakan bantuan bagi armada kapal perang AS di Samudera India tersebut berhasil digulirkan (Arase, 2008).
Aliansi Jepang-AS dihadapkan pada suatu era yang tidak pasti setelah PM Hatoyama, yang berasal dari DPJ memimpin pemerintahan. Mengingat DPJ merupakan sosok partai oposisi yang selalu menolak keberadaan militer AS di tanah Jepang, sekaligus menginginkan kerjasama yang sejajar dan setara. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana prospek hubungan aliansi yang telah lama terjalin antara Jepang-AS tersebut.

Quo Vadis Jepang bersama DPJ
• Evolusi Hubungan Jepang-Amerika Serikat
Sesaat setelah DPJ memenangi pemilu Majelis Rendah Jepang pada tanggal 30 Agustus 2009, maka media-media internasional segera menerbitkan berbagai versi artikel-artikel dan opini-opini tentang prospek Jepang dibawah kekuasaan DPJ. Hal ini wajar, mengingat selain momentum oposisi dalam memegang kekuasaan 54 tahun terakhir, catatan perjalanan DPJ pun dikenal sangat tegas terutama berkaitan dengan kebijakan ekonomi domestik, kesehatan, bahkan strategi politik luar negeri. Yukio Hatoyama, Presiden DPJ, berhasil diangkat menjadi perdana menteri Jepang yang baru sejak 16 September 2009. Berbagai spekulasi mengiringi pelantikan Hatoyama. Leif-Eric Easley, dalam artikelnya di majalah Economist tentang kepemimpinan Jepang yang baru, berpendapat bahwa PM Hatoyama beserta Menteri Luar Negeri Jepang Katsuya Okada merupakan sosok pragmatis yang visioner, namun hanya memiliki sedikit pengalaman dalam memimpin pemerintahan (the Economist, 17 September 2009).
Strategi politik luar negeri Jepang yang telah dirancang sebelum kepemimpinan Hatoyama dan DPJ merupakan strategi politik luar negeri yang proaktif. Namun, DPJ lebih banyak memperbesar porsi kritikannya terhadap strategi aliansi dan kerjasama antara Jepang dan AS sebelum-sebelumnya. DPJ memandang bahwa kerjasama dan aliansi yang dibentuk oleh para pendahulunya yang dari LDP, merupakan strategi yang menempatkan Jepang sebagai subordinasi kepentingan Amerika Serikat. Amerika Serikat dipandang menjadikan Jepang sebagai tameng-nya, dalam mencapai kepentingan nasional AS. Hal ini lebih lanjut, tercermin dari aliansi militer Jepang-AS terkait basis militer AS (Marine Air Station Futenma ) di Okinawa. Selain itu, misi pengisian bahan bakar terhadap kapal perang AS di Samudera India juga merupakan isu yang paling dikritisi oleh DPJ (Smith, 2009).
Oleh karena itu, isu aliansi Jepang-AS merupakan salah satu isu yang akan dipertimbangkan kembali oleh pemerintahan Jepang dibawah kepemimpinan PM Hatoyama. Sebagaimana pula yang disebutkan sebelumnya dalam DPJ Foreign Policy Goals, dimana Jepang ingin menciptakan hubungan dan kerjasama yang lebih sejajar dan setara bersama Amerika Serikat. Dalam hemat saya, Jepang telah memberikan sinyal yang membuat AS berpikir kembali tentang kerjasama dan aliansinya dengan Jepang. Pemikiran PM Hatoyama tentang hubungan yang sejajar dan setara antara Jepang-AS menimbulkan intepretasi bahwa Jepang akan menerapkan kebijakan otonomi terhadap AS, serta menyeimbangkan kembali hubungan Jepang dengan AS. PM Hatoyama mengambil tindakan yang tepat setelah kemenangan DPJ, dengan segera bertemu dengan Duta Besar AS di Jepang, dan juga menelpon Presiden AS Barack Obama, untuk membangun kepercayaan AS terhadap pemerintahan yang dipimpinnya (Newsweek, 14 September 2009).

• Membangun Perdamaian dan Menciptakan Kesejahteraan di Asia
Jepang merupakan salah satu negara di Asia yang menjadi magnet ekonomi bagi negara tetangganya serta dunia internasional. Kekuatan ekonomi Jepang merupakan kekuatan terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Kenyataan ini yang membuat Jepang selalu berupaya melebarkan pengaruhnya di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Kedekatan hubungan Jepang dengan Amerika Serikat membuat citra yang AS melekat pada Jepang. Sehingga tidak jarang banyak yang melihat Jepang sebagai representasi Amerika Serikat di kawasan, bukan merepresentasikan Jepang itu sendiri. Poin tersebut merupakan salah satu yang dikritisi oleh DPJ sebagai kebijakan yang tidak otonomi. Jepang, dengan pemerintahannya yang baru, berupaya menciptakan kerangka strategi politik luar negeri dan kebijakan kawasan yang autonomous. Hal tersebut merupakan salah satu poin penting reformasi strategi Jepang di kawasan.
Membangun kawasan Asia yang damai dan sejahtera merupakan bagian penting dari kepentingan nasional Jepang. Katsuya Okada, mengatakan bahwa pemerintahan baru Jepang akan memulai untuk menawarkan kerangka kerjasama perdagangan bebas (Free Trade Agreement, FTA) dan juga kemitraan ekonomi (Economic Partnership Agreement, EPA) kepada ASEAN. ASEAN pada masa kepemimpinan PM Hatoyama merupakan magnet bagi pencapaian kepentingan nasional Jepang. Jepang mendukung adanya integrasi ASEAN yang pada akhirnya akan membawa pengaruh pada integrasi Asia Timur (Kompas, 1 November 2009). Hal tersebut merupakan bagian dari upaya Jepang dalam menjadi pelopor bagi terbentuknya Komunitas Asia Timur (East Asia Community, EAC).
Asia Tenggara dan Asia Timur menjadi prioritas perhatian dalam penerapan strategi Jepang dibawah PM Hatoyama. Betapa tidak, Jepang berpandangan bahwa keberhasilan Uni Eropa dalam menciptakan kerangka integrasi regional ternyata mendatangkan keuntungan bersama. Bagi Jepang, integrasi Asia Timur merupakan kerangka kerjasama yang paling kompetitif apabila terbentuk. Oleh karena itu, dalam kesempatan KTT Asia Timur ke-4 di Hua Hin, Thailand, tanggal 25 Oktober 2009, PM Hatoyama memberikan usulan tentang penekanan kerjasama strategis dalam pembentukan EAC (Kompas, 1 November 2009).
Bisa kita lihat, potensi yang dimiliki Asia Timur mampu melebihi apa yang dimiliki oleh Uni Eropa saat ini. Pertama, dalam segi ekonomi, terdapat beberapa magnet ekonomi seperti Jepang, China, Korea Selatan, Indonesia, dan juga Singapura. Tiga negara diantaranya termasuk dalam G-20, yaitu China, Jepang dan Indonesia. Hal ini tentunya akan menjadikan EAC sebagai organisasi yang kompetitif. Kedua, dari segi potensi pasar, dengan jumlah total penduduk lebih dari 1,7 miliar jiwa, maka EAC dipandang memiliki pengaruh yang besar bagi perekonomian global. Namun permasalahan mendasar bagi terciptanya EAC adalah integrasi ASEAN itu sendiri serta soliditas hubungan negara Asia Timur yang masih banyak perbedaan pandangan.

Pemerintahan Baru Jepang bagi Indonesia
Pergantian kepemimpinan pemerintahan Jepang masih menyisakan sedikit pertanyaan mengenai prospek hubungan Indonesia-Jepang di bawah pemerintahan PM Hatoyama yang berasal dari partai oposisi Jepang, DPJ. Adakah upaya mempertimbangkan kembali hubungan Indonesia-Jepang yang sebelumnya telah dijalin oleh pemerintahan Jepang terdahulu?
Bahwa memang benar adanya jikalau pemerintahan baru Jepang memberikan porsi perhatian yang lebih ke negara-negara Asia, tidak terkecuali Indonesia. Lebih jauh lagi, Jepang menginginkan terbentuknya Komunitas Asia Timur sebagai bagian dari kekuatan dunia. Indonesia dalam hal ini memiliki posisi yang unik. Pertama, bahwa perhatian pemerintah Jepang terhadap Indonesia ada kemungkinan lebih intensif, mengingat potensi Indonesia dalam memimpin integrasi ASEAN. Hal ini tentu diperkuat dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN baik dari segi geografis, demografis, maupun sumber daya alam. Selain itu, Indonesia juga satu-satunya negara ASEAN yang masuk dalam G-20, dimana disana ikut pula Jepang, China, Arab Saudi, Turki, dan India sebagai perwakilan Asia.
Kedua, sebagaimana kita ketahui bahwa diplomasi multilateral Indonesia memang diarahkan pada perhatian terhadap lingkaran konsentris Asia Tenggara dan Asia Timur, sehingga Indonesia dapat membuat arah kebijakan yang sinergis dengan tujuan pemerintahan Jepang yang baru. Terakhir, bahwa Jepang merupakan salah satu mitra dagang terbesar bagi Indonesia.
Sinyalemen penerapan hubungan baik Indonesia Jepang terlihat ketika pasca gempa di Sumatera Barat. Jepang untuk pertama kalinya mengirimkan seorang utusan dari pemerintahan baru Jepang, yaitu Wakil Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri, Tadahiro Matsushita, yang membawa surat titipan dari PM Hatoyama serta membicarakan bantuan bagi korban gempa Sumatera Barat. Tidak hanya itu, dalam kesempatannya bertemu dengan Menteri Luar Negeri RI pada waktu itu, Hasan Wirajuda, Jepang merupakan negara pertama yang mengirimkan tim bantuan dan tim medis ke Padang (the Jakarta Post, 10 Oktober 2009).
Hal diatas menunjukkan bahwa kedepan, pemerintahan baru Jepang tetap akan membina hubungan baik dengan Indonesia, bahkan terdapat kemungkinan terjadi peningkatan intensitas kerjasama bilateral. Dengan melihat pertimbangan-pertimbangan seperti yang telah dijelaskan diatas. Indonesia dengan Jepang memang harus mensinergikan hubungannya karena bagi Jepang, Indonesia merupakan negara yang memiliki lebih banyak potensi dan peran di ASEAN. Sedangkan bagi Indonesia, Jepang tidak hanya sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, tetapi juga merupakan alat pencapaian kepentingan nasional Indonesia melalui strategi politik luar negeri yang dijalankan.



Reference
Book
• Drysdale, Peter dan David Vines. 1998. ‘Europe, East Asia, and APEC: a shared global agenda?’ Cambridge: Cambridge University Press.
• Rourke, John T. 2005.’International Politics in the World Stage’. McGraw Hill: New York.
• Wakabayashi, Hideki. 2008. ‘The U.S-Japan Alliance: A New Framework for Enhanced Global Security.’ Washington DC: CSIS Press

Journal
• Andrea, Faustinus. 2005. ‘Diplomasi Tingkat Tinggi Asia Pasifik’. Analisis CSIS. Vol.34. No.4.
• Arase, David. 2009. ‘ Japan in 2008: A Prelude to Change?’ Journal of Asian Survey. Vol.XLIX. No. I
• Democrat Party of Japan. 2009. ‘Manifesto 2009: The DPJ’s Platform for Government. Japan
• Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri RI. 2007. ‘Selayang Pandang ASEAN’ edisi XVII
• Konishi, Weston S. 2009. ‘The Democrat Party of Japa: Its Foreign Policy Position and Implications for U.S. Interests. CRS Report R40758
• Moon, Chung in. 2009. ‘South Korea in 2008: From Crisis to Crisis.’Journal of Asian Survey. Vol.XLIX. No.I

Daily News
• Harian KOMPAS edisi Minggu, 1 November 2009 dengan judul Tantangan Menjaga Sentralitas ASEAN. Hal 10

Website
• http:// www.dpj.or.jp/english/vision/summary.html
• http://www.economist.com/world/asia/
• http://en.m.wikipedia.org/wiki/Japan_Self_Defense_Force
• http://en.m.wikipedia.org/wiki/Nuclear_Non-Proliferation_Treaty/
• http://en.m.wikipedia.org/wiki/Price_of_petroleum
• hhtp://home.kyodo.co.jp/modules/fstStory/index
• http://www.newsweek.com/id/214991
• http://www.shugiin.go.jp
• http://www.sangiin.go.jp
• http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/07

Tuesday, October 27, 2009

Indonesia: Bridging the Better Future of South-East Asia

Association of South-East Asian Nation, ASEAN, is now on the new phase of cooperation. Ten member-states -namely Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Philippines, Thailand, Myanmar, Laos, Cambodia, Vietnam, and Singapore- have committed to build a strong cooperation by confidence building measures, to enhance economic integration between member states, and to nurture the ASEAN way. The 15th ASEAN Summit in Hua Hin, Thailand, has already done by the 23-25th October 2009.
Ten member-states and seven dialogue-partners (India, China, South Korea, Japan, Australia, and New Zealand) have just taken part in the summit.

‘Strengthening connectivity’ is one of the ASEAN Summit themes. It is very attractive and also impressive words regarding the progress of ASEAN cooperation itself. As reflected in the ASEAN Charter, that all member-states should support and maintain the centrality and proactive role of ASEAN as the primary driving force in its relation and cooperation with its external partners in regional architecture that is open, transparent, and inclusive. The word ‘connectivity’ is described as the effort of ASEAN itself in nurturing awareness to all member-states that they are well-integrated, strongly-united, and also one identity.

There were several strategic agenda to be discussed in the summit. The agenda is about how to implement the ASEAN Community 2015. It also includes dialogue between ASEAN and the partner-states regarding the issues of education, economic and financial stability, climate change, energy and food, development and strengthening partnership. Some important issues existing in the region were also discussed in the summit, as North Korean nuclear issue and Myanmar.

Indonesia: Challenge and Opportunity

South Asian is the nearest concentric circle for the implementation of Indonesia’s foreign policy. Therefore, South Asian has long been described as the primary element of Indonesia’s multilateral diplomacy. Indonesia has strived to get the ties among South Asian states into force. Relation between states in the region has grown up and get into progress. The progress itself, not only made in the context of ASEAN, but also strong and good will from all South Asian states to build respect and solidarity.

Indonesia, one of the members of ASEAN, has also taken part at the 15th ASEAN Summit. As the largest country in the region, Indonesia has its important role in enhancing and strengthening cooperation in a whole sector. The summit itself, will create both challenge and opportunity for Indonesia. Nowadays, ASEAN is on the progress of development and empowerment. It rise more question about how Indonesia can take more key role in the region, and ensuring that our national interest can be obtained in the context of ASEAN regionalism. Important key role means how far Indonesia can propose some significant and valuable problem solving, and how far Indonesia can actively influence in all sector of cooperation.

So far, Indonesia has been regarded as an important state in ASEAN. Indonesia has its own roles from the beginning of the cooperation itself. As original member-states, Indonesia also contributed in creating and nurturing the aspect of cooperation towards strong and mature relation. For instance, Bali Concord II (the result agreement in 9th ASEAN Summit in Bali), was generated to ensure that ASEAN will build regional community in 2020 namely ASEAN Community. It consist of three pillars of community include ASEAN Security and Political Community (ASPC), ASEAN Economic Community (AEC), and ASEAN Social-Cultural Community (ASCC).

There are three reason can be explained the important and significant role play for Indonesia within ASEAN. Firstly, Indonesia is the largest territorial maritime states passing the two strategic seas (Atlantic Sea and Indian Sea) and two strategic continents (Asia and Australia). It is not merely been a strategic card play for Indonesia to the region, but we should aware that we are ‘the beauty’ for all. From that strategic geographical place, we could make special bargaining position regard to use of Indonesia’s maritime sea in supporting the economic and trade relation over the Asian states (Malacca Strait, Natuna Islands, Banda Sea, and Sunda Strait). Secondly, Indonesia is the largest states with more than 200 million people. It means that Indonesia is strategic market and trade for the other. Therefore, the government of Indonesia should facilitate its potency to use for our prosperity, our economic growth and development, and also our leading role.

Thirdly, as the member of most powerful economic group of G-20, Indonesia should be leading force in ASEAN economic ties. Indonesia could use its own position in G-20, to enforce the change in ASEAN and also could represent ASEAN voice to take some respond in the context of international economic covered by G-20. As we know that now only seven Asian countries participating G-20, namely China, Japan, South Korea, India, Turkey, Saudi Arabia, and Indonesia. Recently, G-20 has officially replaced G-8 to take some role in common international economic group.

Future South-East Asia

Southeast Asia has grown up into a new phase of connectivity covered by ASEAN. In the recent development, ASEAN is undergoing the strong level of solidarity and integration. Therefore, all ASEAN member-states intensify their coordination and harmonious policy toward integration in a whole three pillars namely political and security, economic, and social-cultural. As mentioned before, Indonesia has enough sources and potency to take a leading role in bridging the ASEAN future. ASEAN future is described as the ability of ASEAN states to improve the scope of integration and regionalism.

China, South Korea, and Japan are now being the close ASEAN dialogue partner. Those three East Asia states, has shown their commitment to build East Asia Community through ASEAN plus Three (APT). They also intensify their relation with ASEAN states in all scope. Chiang Mai Initiative is one of the efforts from those three East Asia states to approach ASEAN through economic and financial aid. In the 15th ASEAN Summit in Thailand, China, Japan, and South Korean promised of US$ 120 billion financial assistance for ASEAN states, to solve the impact of the economic crisis. It shows us, how important ASEAN is for all those states.

The ASEAN future, is the future of Asian where all ten member-states bind together in harmonious, solidarity, unity, and one identity. It needs commitment from all member-states to enforce the three pillars of cooperation. It is also challenging all member-states to the question of centrality of ASEAN. How they can make ASEAN as the primary driving force in bridging relation to the international system. In addition, Indonesia has to take a leading force to build and nurture the sense of solidarity, awareness, and sense of identity inside ASEAN. The era of ASEAN will definitely close and closer

Thursday, October 22, 2009

Oposisi versus ‘Penyeimbang’ : Quo Vadis PDI-P ?

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) merupakan partai ketiga terbesar, pemenang Pemilu 2009. Pasca Pemilu 2004, melalui keputusan di Rakernas PDI-P di Bali awal tahun 2005, PDI-P mengokohkan posisinya sebagai kekuatan oposisi pemerintahan, yang pada waktu itu dipimpin oleh SBY-JK. Hal ini praktis mengundang banyak perhatian, dimana untuk pertama kalinya sistem demokrasi di Indonesia mengenal kata partai oposisi. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ternyata praktek-praktek ke-oposisi-an PDI-P tidak ditunjukkan secara maksimal dan berani. PDI-P pada waktu itu cenderung hanya sebagai kritikus kebijakan SBY-JK, tanpa memberikan solusi kerakyatan dan juga alternatif-alternatif kebijakan selaku partai oposisi. Arah kebijakan partai pun masih konservatif, dimana pengaruh ketokohan Megawati Soekarno Putri masih begitu kentalnya mengiringi segala gerak langkah PDI-P. Sebagai contoh adalah kontroversi kebijakan kenaikan harga BBM pada masa SBY. PDI-P tidak memainkan fungsi oposisinya dengan baik, terlihat dari justifikasi-justifikasi yang dilakukan PDI-P yang membandingkan pemerintahan zaman Mega dengan pemerintahan zaman SBY. PDI-P dalam hal ini malah mengambil berkah pencitraan terhadap masyarakat sehingga partai ini dianggap memang tidak lupa akan khitah-nya sebagai partai wong cilik.

Pemilu 2009 merupakan momentum politik sekaligus pesta demokrasi yang besar bagi keberlangsungan Indonesia di lima tahun mendatang. Oleh karena itu,dirasa wajar ketika banyak partai berbondong-bondong melakukan sosialisasi, politik pencitraan, dan juga mengintensifkan pola komunikasi politik yang elegan dan populer di kalangan masyarakat, tidak terkecuali PDI-P. Pemilu legislatif 2009 mengantarkan partai berlambang banteng bermoncong putih ini sebagai partai pemenang pemilu ketiga setelah Partai Demokrat dan Partai Golkar. Pasca Pemilu legislatif 2009, maka konstelasi politik semakin berkembang dengan adanya friksi-friksi partai yang akan bersaing dalam Pemilihan Presiden beberapa bulan ke depannya. Megawati sebagai ketua umum PDI-P, merupakan sosok tunggal yang diusung PDI-P sebagai calon presiden 2009-2014. PDI-P tidak main-main dengan pengusungan ketua umumnya, Megawati, sebagai calon presiden. Bahkan PDI-P jauh-jauh hari telah berani melakukan sosialisasi politik melalui DPD dan DPC PDI-P se-Indonesia. Pengusungan Megawati sebagai capres ini tentu telah melalui keputusan Rakernas PDI-Perjuangan di Bali pada awal tahun 2009 lalu. Pilpres 2009 tidak berhasil mengabulkan ambisi PDI-P untuk memegang tampuk kekuasaan tertinggi sebagai eksekutif. Capres usungan PDI-P dan Partai Gerindra, Megawati-Prabowo, hanya menempati posisi kedua setelah kemenangan capres incumbent SBY-Boediono, yang mendapatkan presentasi kemenangan lebih dari 60% total suara sah pemilih. Hal ini merupakan kekalahan kedua bagi Megawati, melawan SBY dalam pemilihan presiden langsung yang dipilih oleh rakyat. Seiring dengan telah dilantiknya SBY-Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2009-2014, pada 20 Oktober 2009, maka ada pertanyaan mendasar tentang arah kebijakan PDI-P lima tahun mendatang. Apakah PDI-P akan mengulang sejarahnya pada tahun 2004 dimana mengumumkan dirinya sebagai partai oposisi?

‘Kekuatan Penyeimbang’ ala PDI-P
Akan kemanakah arah kebijakan PDI-P pada lima tahun mendatang ? Pertanyaan tersebut cukup menarik dimana preseden yang ada pada tahun 2004 menegaskan bahwa PDI-P sebagai partai oposisi. Sedikit berbeda dengan 2004, tahun 2009 ini publik sempat mempertanyakan kecenderungan PDI-P yang tidak secara tegas dan segera menyatakan dirinya sebagai partai oposisi. Hal ini wajar saja mengingat beberapa pertimbangan.

Pertama, bahwa adanya tingkat perbedaan yang mendasar antara elite internal partai, mengenai posisi PDI-P mendatang. Hal ini mengingat pula bahwa pengalaman PDI-P sebagai partai oposisi pada tahun 2004-2009, ternyata tidak mampu mendongkrak popularitas dan juga mempertahankan konstituen partai, sehingga partai ini gagal dalam memenangi Pemilu legislatif dan Pilpres 2009. Pandangan tersebutlah yang membuat sedikit pemikiran elite PDI-P, untuk mulai menjajaki sebagai partai non-oposisi, dengan kata lain ikut dalam pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari semakin intensifnya komunikasi politik antara Partai Demokrat dengan PDI-P menjelang suksesi kepemimpinan dalam MPR. Komunikasi tersebut mengantarkan Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR RI periode 2009-2014.

Kedua, bahwa Partai Demokrat telah menanamkan hutang budinya kepada PDI-P dalam proses suksesi pemilihan ketua MPR RI 2009-2014. Bahkan, hal tersebut juga membuka kedekatan antara Taufik Kiemas selaku Ketua Dewan Penasehat PDI-P dengan SBY selaku Presiden RI sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Dalam proses kompromistis dan konsensus tersebut, tentu terdapat sejumlah kesepakatan-kesepakatan internal antara Partai Demokrat dan PDI-P. Kesepakatan-kesepakatan tersebut lah yang berhasil memperlunak sikap dan arah kebijakan PDI-P, sehingga hanya berani menegaskan posisi mereka sebagai kekuatan penyeimbang dan kekuatan pengontrol, bukan koalisi ataupun oposisi.

Ada satu hal yang dapat dilihat dalam kasus ini, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa sistem demokrasi hanya mengenal dua istilah, rulling party dan oposition. Merupakan sesuatu yang dilematis bagi PDI-P tentang sikapnya yang melunak. Disatu sisi, PDI-P ingin mempertahankan posisi dan jaraknya dengan kekuasaan. Namun disisi lain, hutang budi PDI-P terhadap SBY membuat betapa lunaknya sikap partai merah ini. Terlebih, ketika kata oposisi tidak lagi digunakan sebagai trademark partai sebagaimana pada tahun 2004. Indonesia masih membutuhkan sistem demokrasi yang transparan dan berkualitas. Sistem demokrasi yang transparan merupakan pengejawantahan dari profesionalitas kinerja kabinet, sedangkan sistem demokrasi yang berkualitas merupakan pengejawantahan dari sistem check and balance yang ditandai dengan adanya oposisi. Hal ini sangat diperlukan, mengingat Indonesia yang saat ini masih relatif berada pada masa transisi demokrasi, sehingga pembelajaran politik yang baik bagi masyarakat untuk menampilkan sistem demokrasi yang transparan dan berkualitas.

Tuesday, October 20, 2009

Dunia dan Kedigdayaan China

“Today, China holds high the banner of peace, development and cooperation. It pursues an independent foreign policy of peace and commits itself firmly to peaceful development….China firmly pursues a strategy of opening-up mutual benefit and win-win outcomes. It is inclusive and is eager to…play its part in building a harmonious world of enduring peace and common prosperity” (Hu Jintao, 15 Oktober 2007)


China merupakan negara komunis dengan sistem terpusat. Kemajuan pembangunan yang berhasil dicapai China dalam beberapa dekade terakhir menjadi perhatian utama bagi semua kalangan, baik kalangan akademis, praktisi, media, maupun kalangan wirausaha. Betapa tidak, kemajuan pembangunan ekonomi China memasuki era-era yang menunjukkan potensi dan prospek yang baik. Kemajuan pembangunan ekonomi tersebut didukung oleh sistem pemerintahan terpusat dengan otoritas ekonomi zona khusus. Saat ini, banyak argumen-argumen di kalangan akademis yang menyatakan bahwa China merupakan masa depan Asia dan dunia. Hal ini mengundang pertanyaan dan rasa keingintahuan kita terhadap China itu sendiri. Betapa tidak, argumentasi yang menyatakan tendensi bahwa China adalah kekuatan masa depan dunia, memang dilihat dari angka-angka menakjubkan yang ditunjukkan oleh China, termasuk data-data statistik pertumbuhan ekonomi China, anggaran pertahanan China, data demografis China, serta data keikutsertaan China dalam kerjasama tingkat regional dan global.
Dalam dua dekade terakhir, banyak perubahan yang terjadi di China seperti pesatnya arus pembangunan di kota-kota besar China antara lain Beijing, Shenzhen, Guangzhou, Macau, Shanghai, dan Guangdong. China tumbuh sebagai negara berkembang yang mampu menggerakkan ekonominya di sektor industri dan makro ekonomi. Perkembangan sektor industri dan makro ekonomi tersebut didukung oleh regulasi pemerintah dan juga penyediaan tenaga kerja yang menguntungkan.
Namun, dibalik kemajuan pembangunan yang terjadi di China, pemerintah China tentu masih menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan urusan dalam negeri, antara lain masalah kemiskinan dan pemerataan pembangunan. Masalah tersebut masih merupakan masalah domestik yang harus diselesaikan pemerintah China. Selain itu, China juga masih memiliki masalah separatisme di Tibet, Xinjiang, dan juga masalah Taiwan. Di tengah arus kemajuan China sebagai kekuatan baru dunia, ternyata tantangan domestik China juga mendesak untuk segera diselesaikan. Hal ini membuat China harus menjawab dua tantangan sekaligus, yaitu tantangan domestik dan tantangan global. Seperti yang dinyatakan oleg Deng Xiaoping pada awal tahun 1990-an, menyatakan bahwa pendekatan yang digunakan China dalam menjawab tantangan tersebut meliputi beberapa hal, yaitu “observe calmly; secure our position; cope with affairs calmly; hide our capacities and bide our time; be good at maintaining a low profile; and never claim leadership”
Pernyataan Deng tersebut menarik untuk dibahas. Hal ini dikarenakan penerjemahan prinsip Deng tersebut ternyata masih diterapkan dan relevan dalam politik luar negeri China saat ini. China yang merupakan kekuatan baru dunia saat ini, namun proses yang dilakukan oleh China bukanlah proses yang tergesa-gesa. China berhasil menunjukkan bahwa mereka muncul sebagai kekuatan baru yang turut diperhitungkan dengan cara elegan. Bagaimana China mampu menjaga ritme hubungannya dengan regional dan global, sehingga China tidak tampil sebagai kekuatan baru yang bersifat hegemoni dan mendikte. Kerjasama-kerjasama yang diikuti oleh China mampu mendorong China meraih poin penting tentang pengaruh dan peningkatan peran China dalam perdamaian dunia dan stabilitas dunia.

Raksasa Ekonomi yang Bangkit
Keikutsertaan China dalam berbagai kerjasama ekonomi menunjukkan besarnya kepentingan nasional China terhadap pemenuhan tuntutan dan kebutuhan ekonomi domestik. Hal ini juga sekaligus digunakan China untuk membantu menuntaskan masalah-masalah domestik yang berkaitan dengan ekonomi seperti kemiskinan dan keterbelakangan. Begitu banyak kerjasama ekonomi yang diikuti oleh China, seperti World Trade Organisation (WTO), Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), Shanghai Coperation Organisation (SCO), ASEAN Plus Three (APT), G-20, dan juga OPEC. Dalam konteks regional, China dan ASEAN telah menyepakati dibentuknya zona perdagangan bebas China-ASEAN (ASEAN-China Free Trade Area, ACFTA) yang akan diberlakukan disemua negara ASEAN mulai Desember 2009.
Dalam keikutsertaan China di berbagai forum ekonomi dunia tersebut, China telah menunjukkan bahwa mereka merupakan mesin penggerak ekonomi dunia, dengan cadangan devisa 1,8 Triliun Dollar AS per Mei 2008. Berdasarkan data yang didapat dari Kementerian Perdagangan China, China merupakan negara pengekspor terbesar ketiga dunia dengan peningkatan total GDP sebesar 12 % di volume 3,24 triliun Dollar AS. Oleh karena itu, China merupakan negara pengekspor terbesar di Asia.
Kenyataan tersebut membuat China menempati posisi dan peranan penting dalam ekonomi dunia. Perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi di China mempunyai pengaruh yang dapat diperhitungkan bagi sistem internasional. Bahkan, dapat dikatakan bahwa tidak ada tantangan internasional yang dapat diselesaikan tanpa keikutsertaan China sebagai kekuatan baru. Dengan kata lain, kemunculan China sebagai kekuatan berpengaruh dunia datang lebih cepat dari yang dibayangkan.
Amerika Serikat merupakan negara yang mengalami defisit perdagangan dengan China. Volume perdagangan Amerika Serikat ke China lebih kecil dibanding volume perdagangan China ke Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Amerika Serikat, sehingga pada tahun 2008 Amerika Serikat melakukan kunjungan ke China guna membahas ketimpangan perdagangan China-AS yang menyebabkan defisit bagi AS. Saya memandang bahwa ini merupakan instrumen bahwa China tidak hanya muncul sebagai kekuatan ekonomi besar dunia, tetapi juga China mampu melihat potensi perdagangan yang kompetitif sekalipun dibandingkan dengan negara-negara industri maju yang telah mapan. Hal ini juga menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya, adikuasa dunia yaitu AS, mampu dikalahkan oleh China sebagai kekuatan Asia.
Eropa juga merupakan wilayah dimana kekuatan ekonomi China menunjukkan pengaruhnya di benua tersebut. Pernah ada yang menyatakan bahwa dalam diplomasi antar negara, tidak ada istilah persahabatan, yang ada hanyalah periode bertemunnya kepentingan bersama. Hubungan Eropa-China memang telah memasuki babk baru dimana Uni Eropas mulai menunjukkan soliditasnya, disamping itu China juga telah menunjukkan geliat ekspansi ekonominya di Eropa. Presiden Perancis Jacques Chirac pernah melakukan kunjungan kenegaraannya ke China pada tahun 2004. Kunjungan tersebut ditujukan untuk melakukan pendekatan ke China atas kontrak pesawat Airbus, Kereta Api Alstom, pusat pengolahan air, peralatan hidroelektrik, dan juga ekspor gandum seharga 5 miliar Euro. Kunjungan tersebut merupakan instrumen penting, bahwa pengaruh ekonomi China sudah dapat dirasakan di dataran Eropa. Lebih lanjut, Presiden Chirac juga pernah menyatakan dalam sebuah pertemuan dengan Kenselir Jerman Gerard Schroeder dengan menyatakan “ Kita menghadapi masalah serius di Eropa. Peningkatan jumlah ekspor tekstil China ke negara kita dapat mengancam pekerjaan ribuan buruh. Kita tidak dapat menerima pukulan mematikan pada lapangan pekerjaan sekian banyak pekerja di negara kita”.
Pernyataan tersebut merupakan representasi kekhawatiran Perancis, sebagai salah satu negara maju di Eropa, atas ekspansi China yang sudah mengancam keberlangsungan ekonomi Perancis. Hal ini dapat dilihat sebagai pembenaran bahwa kekuatan ekonomi China dan pengaruhnya ternyata tidak hanya menunjukkan tingkat superioritasnya di Asia, tetapi juga di Amerika dan Eropa.

Pengaruh China terhadap Sistem Internasional
China adalah negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang juga memiliki hak veto di PBB. China merupakan salah satu dari negara penyumbang terbesar pasukan penjaga perdamaian PBB, yaitu sebanyak 1.955 pasukan yang tersebar di 12 misi perdamaian PBB pada bulan Juni 2008. China telah mengikuti lebih dari 130 organisasi internasional dan juga telah menyatakan komitmennya terhadap 267 perjanjian-perjanjian multilateral.
Sebagai kekuatan baru yang berpengaruh, China sedang melakukan penyesuaian terhadap sistem internasional yang didominasi oleh kekuatan negara-negara Barat. Hal ini sekaligus menjadi menimbulkan sebuah rekonstruksi terhadap pengaruh-pengaruh negara Barat yang telah lama ada dalam sistem internasional. China merupakan negara yang memegang peranan penting dalam PBB dan juga WTO. China memandang bahwa keikutsertaannya dalam PBB dan WTO merupakan sarana untuk mempromosikan tujuan-tujuan strategis dan juga prinsip-prinsip yang diyakini oleh China. Keikutsertaan tersebut diiringi dengan upaya meyakinkan bahwa China memiliki komitmen terhadap hukum internasional yang berlaku, prinsip persamaan, demokratisasi di tingkat internasional, serta memastikan dunia terhadap prinsip China atas perdamaian dan responsibilitas. Adanya hak veto China di PBB serta terlibatnya China dalam aliansi-aliansi strategis bersama negara-negara berkembang, dapat dijadikan sebagai upaya untuk memastikan bahwa proses-proses serta mekanisme-mekanisme dalam institusi kerjasama tersebut tidak mencederai kedaulatan dan kepentingan nasional.
China mendukung penuh atas segala upaya kerjasama di Asia dan juga mengupayakan rasa saling percaya, penguatan kerjasama, dan juga keamanan regional. China telah mengikuti berbagai mekanisme dialog dan diskusi dalam konteks regional, yang ditujukan untuk mengamankan suara dan kepentingan China, mendapatkan keuntungan ekonomi, mencapai visi-visi confidence-building serta kerjasama keamanan.
Beberapa pengamat melihat bahwa China dapat memainkan pengaruhnya dalam jangka panjang di Asia Timur. Keikutsertaan China dalam Shanghai Cooperation Organization (SCO) di Asia Tengah dan ASEAN Plus Three di Asia Tenggara dapat dijadikan contoh. Selain itu, Chiang Mai Innitiative juga merupakan instrumen penguatan pengaruh China, dimana merupakan sebuah mekanisme yang ditujukan untuk menstabilisasikan sistem finansial kawasan dengan cara pengumpulan dan kreditor untuk kemudian dialirkan ke negara-negara kawasan yang memerlukan pinjaman. Chiang Mai Innitiative ini merupakan dipandang sebagai sebuah tantangan bagi dominasi Amerika Serikat terhadap International Monetary Fund (IMF). Dalam kenyataannya, China disebut-sebut sebagai “new international economic order”.
Semakin tingginya tingkat ketergantungan China terhadap dunia dan juga sebaliknya mengisyaratkan bahwa sistem internasional berada pada era baru dimana transisi power sedang terjadi. Besarnya kekuatan ekonomi dan finansial China membawa pengaruh pada pola politik luar negeri dan juga upaya kerjasama internasional dan kawasan yang dilakukan oleh China. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana China selalu mengedepankan upaya dan jalur multilateralisme dalam konteks peyelesaian masalah daripada mengambil tindakan unilateral.

Adikuasa Dunia : Quo Vadis China?
Krisis finansial global yang terjadi pertengahan 2009 tahun ini ternyata membawa sebuah tantangan baru bagi China. Amerika Serikat yang merupakan negara super power cukup kewalahan menghadapi dampak dari krisis finansial global, dari macetnya subprime mortgage, ditutupnya bank-bank besar di AS, meningkatnya angka pengangguran, hingga pergantian rezim ala Partai Demokrat AS yang dipimpin Obama.
China saat ini dihadapkan pada sebuah pilihan yang menuntut China untuk menunjukka peranannya secara riil. Krisis finansial global mengakibatkan resesi ekonomi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Inggris, dan juga Jepang. Namun ada sebuah analisis yang tidak terlalu mengejutkan, bahwa China merupakan satu dari tiga negara, termasuk Indonesia dan India, yang mampu mempertahankan nilai pertumbuhan ekonominya di level positif dikala semua negara mengalami pertumbuhan negatif sehingga mengalmi resesi. Hal ini tentu menjadi bahasan yang menarik, bahwa apakah China mampu untuk menggantikan adikuasa baru bagi sistem internasional. Setidaknya saya melihat kerangka analisis ini dari beberapa poin, yaitu :
Pertama, bahwa sistem politik domestik China memang dirasa masih memiliki legitimasi dan superioritas yang tinggi, terutama terhadap warga negara-nya. Hal ini berimplikasi pada stabilitas dan soliditas domestik yang dapat menunjang pertumbuhan dan pembangunan ekonomi China. Meskipun masih banyak pertanyaan-pertanyan tentang supremasi sipil dan HAM di China, pemerintah China mampu mempertahankan ritme politiknya serta dibantu dengan sistem komunis uni partai yang relatif dapat membantu menciptakan stabilitas dan soliditas domestik. Dari sisi demografis dimana 90% penduduknya berasal dari suku Han maka keuntungan yang didapat adalah bahwa China merupakan negara yang cenderung homogen. Dalam studi politik, menurut Andrew Heywood dalam bukunya Politics yang menyatakan bahwa homogenisme dalam suatu sistem politik dan pemerintahan merupakan alat yang tepat dalam mengurangi kerentanan konflik horizontal yang terjadi. Hal ini turut membantu dalam menciptakan kondisi damai dan stabilitas domestik.
Kedua, potensi sumber daya manusia yang besar, dapat diupayakan China menjadi sebuah keuntungan tersendiri yang dapat menunjang kepentingan nasional. Memang, masalah kemiskinan dan keterbelakangan masih menjadi masalah domestik, tetapi, China terbukti dapat melakukan pemerataan ekonomi secara bertahap kepada warga negaranya melalui lapangan pekerjaan yang tersedia. Hal ini juga ditunjang dengan banyaknya industri-industri yang merelokasi proses produksinya ke China atas alasan kemudahan perizinan serta penyediaan SDM yang terjangkau dan produktif.
Ketiga, kertergantungan yang tinggi terhadap kerjasama sektor finansial dan ekonomi menjadikan China sebagai kutub baru yang dijadikan negara-negara berkembang sebagai tumpuan harapan. China dalam hal ini memiliki posisi yang unik. Di satu sisi, China digolongkan sebagai negara berkembang, sehingga segala upaya pendekatan China ke negara-negara berkembang relatif lebih mudah. Hal ini dikarenakan China dapat memainkan kartunya atas nama solidaritas negara-negara berkembang. Dengan ini China dapat memperluas pengaruh dan perannya terhadap kerjasama-kerjasama yang melibatkan negara-negara berkembang.
Di sisi lain, kapabilitas dan kemampuan ekonomi China mampu menyaingi kekuatan dan dominasi negara-negara maju, sehingga dalam konteks ini, China dapat dimasukkan ke dalam lingkaran pengaruh negara-negara maju. Hal ini dapat mendatangakan keuntungan, dimana negara-negara maju juga memerlukan peran China dalam kerjasama-kerjasama mereka. Lagi-lagi China dalam hal ini memainkan politik yang elegan dalam memndekati negar-negara maju dan ikut dalam proses pembuatan kebijakan yang melibatkan negara-negara maju. Sehingga saya dapat menyebut China sebagai negara yang mendapatkan double-track advantage dalam sistem internasional terlebih sebagai kekuatan baru yang berpotensi menjadi adikuasa.
Keempat, kekuatan pertahanan China yang menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Hal ini dirasa wajar, mengingat besarnya wilayah kedaulatan China serta tantangan-tantangan kedepan yang mengharuskan China menjadi negara yang memiliki sistem pertahanan yang kuat dan canggih. China sampai saat ini masih belum bisa menandingi negara-negara produsen senjata seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Perancis. Tetapi China memiliki cukup banyak anggaran dan budget untuk mendapatkan bahkan membangun fasilitas-fasilitas produksi yang mendukung sistem pertahanan negara.
Terakhir, bahwa China akan tumbuh bersamaan dengan kuatnya regionalisme dan integrasi di kawasan termasuk Asia Timur, Asia Tengah, dan Asia Tenggara. Intergrasi dan penguatan regionalisme kawasan tersebutlah yang saya pandang sebagai basis lahirnya China sebagai negara adikuasa baru.

Friday, August 21, 2009

Menyoal Pidato Kemenangan SBY

“Tanda dari seorang pemimpin yang hebat adalah kemampuannya menangkap visi, mengeluarkan pikirannya, dan membuat orang mengerti akan maksudnya (The power of vision by George Barna)”

Bangsa indonesia baru saja melewati dua pesta demokrasi besar, yaitu pemilihan umum legislatif 2009 dan pemilihan presiden 2009. Terkait dengan pemilihan presiden 2009, maka telah kita ketahui bahwa calon presiden incumbent, SBY-Boediono, mampu mengalahkan dua pesaingnya yaitu pasangan Mega-Prabowo dan Kalla-Wiranto. Kemenangan yang diperoleh pasangan SBY-Boediono pun merupakan kemenangan telak dimana lebih 60% suara sah nasional mampu didapatkan oleh pasangan ini. Angka kemenangan tersebut, secara praktis membawa SBY-Boediono kepada peiode kedua kepemimpinannya dengan hanya melewati pemilihan satu putaran.
Komisi Pemilihan Umum baru saja mengumumkan secara resmi keputusan presiden dan wakil presiden terpilihnya pada tanggal 18 Agustus 2009, sehari setelah hari kemerdekaan Republik Indonesia. Meskipun keputusan tersebut merupakan keputusan yang konsitusional, dalam prosesnya KPU telah menjalani berbagai arus mainstream politik yang begitu hangat. Telah banyak kita dengar di berbagai media tentang gugatan dari kedua belah pasangan capres-cawapres yang kalah, bahwa pemilihan presiden kali ini telah terjadi banyak kecurangan masif dan ketidak-siapan KPU untuk menyelenggarakan Pilpres yang jujur dan adil. Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi telah menolak gugatan pasangan capres yang kalah, dan menyatakan bahwa gugatan mereka tidak terbukti. Bahkan KPU sempat mendapat dorongan untuk mengundurkan diri secara terhormat oleh beberapa pihak yang merasa dikecewakan.
Pasca pengumuman dan penetapan presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU, maka kita lihat sebuah tradisi yang baru dalam dunia politik kita, yaitu pidato kemenangan presiden terpilih. Meskipun hal ini terkesan merupakan duplikasi dari proses politik yang ada di Amerika Serikat, seyogianya kita harus menghargai bahwa proses tersebut juga dirasa perlu. Betapa tidak, pidato kemenangan pasca pilpres dibutuhkan karena selama kampanye dan proses pilpres, suhu politik tentu berjalan begitu panas dan penuh dengan perang media kampanye. Pidato kemenangan merupakan momentum tepat bagi para pemimpin. Hal tersebut setidaknya dapat kita lihat atas bebrapa pertimbangan.
Pertama, bahwa pidato kemenangan tersebut mencerminkan respek yang tinggi terhadap kepercayaan yang diberikan oleh rakyat kepada calon terpilih. Terlepas dari apakah prosesi pidato diadakan secara sederhana atau gemerlap. Rakyat juga perlu diberikan penghormatan atas aspirasinya, karena pemimpin lahir atas nama rakyat dan untuk melayani rakyat. Penghormatan yang diberikan kepada rakyat menunjukkan loyalitas pemimpin terhadap rakyat akan komitmennya selama periode ke depan. Hal ini juga menunjukkan kepada rakyat bagaimana melihat profil pemimpin mereka ke depan, serta bagaimana menanamkan kepercayaan bahwa rakyat tidak salah dalam memilih pemimpin. Merupakan hal yang sepele, tetapi cukup efektif guna menumbuhkan kepercayan diri pemimpin dalam memimpin rakyat dan bahwa mereka merupakan pemimpin yang didukung oleh rakyat.
Kedua, bahwa pidato kemenangan tersebut mampu mempertegas komitmen dan tindakan ke depan yang dilakukan oleh pemimpin yang baru. Bahwa memang beberapa dari masyarakat kita sudah terkena demam anti janji kampanye sehingga seindah apapun “angin surga” kampanye yang diberikan, rakyat akan apatis. Dalam kondisi ini, maka diperlukan sebuah momentum untuk mempertegas kembali apa yang dijanjikan oleh calon presiden kita pada saat kampanye Pilpres lalu. Komitmen dan tindakan tersebut tentu merupakan rangkaian visi yang diciptakan atas kebutuhan dan tuntutan internal dan domestik yang ada. Hal ini dipandang penting mengingat banyak kasus kredibilitas dan tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menjadi semakin menurun karena pemerintah tidak mampu menjaga ritme kepercayaan publik melalui tindakan dan komitmennya dalam memimpin.
Ketiga, bahwa pidato kemenangan tersebut dapat mencerminkan komunikasi antara pemimpin dengan rakyat yang akan dipimpin. Bagaimanapun juga, komunikasi media juga diperlukan dalam teori-teori kepemimpinan. Banyak bukti yang dapat kita lihat bagaimana kuatnya pemimpin diciptakan melalui kuatnya pemberitaan dan pencitraan pemimpin kepada rakyat. Komunikasi yang dibentuk tentunya akan melahirkan rasa sense of belonging,bahwa rakyat memiliki pemimpin, dan bahwa kita merupakan bangsa yang satu. Komunikasi model seperti ini memang bukan merupakan kontrak sosial antara pemimpin dengan rakyat, tetapi lebih kepada komunikasi politik yang ditujukan untuk mendapatkan mandat dari rakyat secara tidak langsung melalui pidatonya.

Revitalisasi Isu
Pidato kemenangan SBY-Boediono pada tanggal 20 Agustus 2009, ternyata tidak hanya digunakan sebagai ajang pamer kebesaran semata. Dalam pidato yang berdurasi kurang dari 60 menit tersebut, SBY menekankan kembali revitalisasi beberapa isu terkait janji kampanye pada waktu Pilpres lalu. Pertama, bahwa SBY kembali menguatkan programnya dalam bidang pendidikan. Bidang pendidikan merupakan salah satu materi pidato SBY. Beliau kembali menekankan upaya pemerintahannya lima tahun ke depan dalam menjamin kualitas dan aksesibiltas pendidikan yang adil dan merata. Hal ini memang penting mengingat Indonesia telah jauh tertinggal dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, di bidang pendidikan. Iklan pendidikan gratis yang didengungkan pemerintah tempo lalu sudah terdengar hambar ketika ada opini-opini yang mengarah pada upaya mempolitisasi iklan pendidikan gratis tersebut. Kini saatnya bagi SBY untuk membuktikan bahwa iklan pendidikan gratis yang sempat gempar saat kampanye Pilpres, bukan hanya alat politik yang difungsikan untun mendongkrak perolehan suara semata.
Kedua, SBY menekankan pentingnya penguatan visi ekonomi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Hal ini cukup tepat digunakan dalam materi pidato kemenangan, mengingat krisis finansial global menjadikan isu-isu tentang sudut-pandang dan ideologi ekonomi menjadi perdebatan hangat dalam kampanye (ekonomi jalan tengah vs ekonomi kerakyatan). Hal ini juga mengingat bahwa potensi ekonomi Indonesia diprediksikan akan mengalami fase-fase yang menggembirakan, dimana Indonesia merupakan satu dari tiga negara di Asia, setelah China dan India, yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya dalam presentase yang positif disaat negara lain mengalami resesi ekonomi. Tidak pula salah bahwa SBY memilih Boediono yang memiliki kompetensi yang mapan dalam bidang ekonomi.
Ketiga, penguatan isu tentang reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Dua hal tersebut memang seperti dua buah sisi mata uang. Betapa tidak, kasus korupsi terbanyak ternyata melibatkan birokrat dan juga didukung oleh sistem birokrasi yang tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu, SBY menguatkan komitmennya dalam melanjutkan proses reformasi birokrasi hingga selesai pada tahun 2011. Begitu juga upaya pemberantasan korupsi melalui penciptaan sistem birokrasi yang efektif dan efisien serta kultur anti korupsi dalam lingkup publik. Hal ini juga merupakan tindakan yang tepat, mengingat Indonesia masih kalah jauh dengan Singapura dalam hal transparansi dan upaya menciptakan clean government.

Tantangan dan Realitas
Tidak dapat dipungkiri bahwa tantangan kepemimpinan SBY kedepan sangat kompleks mengingat permasalahan domestik dan juga eksternal begitu banyak yang harus diselesaikan. Mulai dari penanganan dampak krisis finansial global, isu-isu penguatan pertahanan RI, masalah penanganan bencana dan dampak kerusakan lingkungan, masalah pendidikan, masalah reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi, dan juga masalah kesehatan rakyat. Tantangan-tantangan tersebut memang memerlukan gerak langkah yang tepat dan terkordinasi sehingga tepat guna dan tepat sasaran. Rakyat telah merasakan bahwa realitas yang dirasakan saat ini menuntut pemerintah kedepan lebih proaktif dan produktif dalam menciptakan kerangka kebijakan yang mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat tanpa terkecuali. Jangan lupa pula bahwa masih ada ancaman eksistensial yang sudah diingatkkan oleh para pendahulu kita, yaitu bahaya disintegrasi dan separatisme. Tentunya memerlukan penyelesaian yang tegas dan damai untuk menyelesaikan permasalahan ini. Bangsa kita adalah bangsa yang ber “Bhineka tunggal Ika”, berbeda-beda tapi tetap satu jua. Bagaimana pemimpin kita kedepan, yaitu SBY-Boediono mampu memimpin dalam corak ke-Bhineka-an namun tetap menciptakan kebijakan yang mencerminkan ke-Eka-an.
Bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang satu dan bangsa yang besar. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mandiri dan bermartabat. Bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa MERDEKA. Pemimpin kita harus mampu menumbuhkan kesadaran tersebut terhadap rakyatnya tidak terkecuali.

Thursday, January 8, 2009

Next Article...(HAMAS-Israel War) comin soon

Tunggu aja ya....baru ngepost yang artikel bulan lalu soalnya...

Bush dan Ke(tidak)bijakan Amerika Serikat

Beberapa hari lalu (dibuat 1 bulan yang lalu..hehhe), berbagai media ramai-ramai memberitakan sebuah insiden diplomatik yang memalukan dan yang pertama kali dalam sejarah hubungan internasional. Seorang presiden mendapatkan lemparan dua sepatu oleh seorang wartawan pada saat jumpa pers. Siapa lagi kalau bukan presiden George Walker Bush, presiden Amerika Serikat, yang pada waktu itu didamping oleh perdana menteri Irak Nuri Al-Maliki. Di saat-saat terakhir masa jabatan Bush Junior, Amerika Serikat berhasil menelurkan sebuah kerangka kebijakan keamanan bilateral yang tetuang dalam Pakta Keamanan Bersama yang mengharuskan Amerika Serikat menarik seluruh pasukannya dari Irak pada tahun 2011. Ironisnya, disaat kunjungan terakhirnya ke Irak, yang kali ini merupakan kunjungan keempat sejak invasi Amerika Serikat ke Irak pada Maret 2003, Bush Junior dihadiahkan kenangan kelabu yang menunjukkan aspirasi seorang warga Irak yang merasa dijajah oleh Amerika Serikat.
Kebijakan Luar Negeri yang Sesat
Telah kita ketahui bersama bahwa kebijakan luar negeri Amerika Serikat pasca tragedi 11 September 2001, memang dikenal lebih menggunakan pendekatan militer dan high politic. Betapa tidak, pasca serangan besar-besaran teroris tersebut, membuat Amerika Serikat seolah telah terjangkit phobia yang berlebihan, terlebih dalam hubungananya dengan negara-negara yang tidak bersahabat dengan Amerika Serikat. Doktrin kebijakan luar negeri Bush junior tentang pre-emptive war, menghasilkan apa yang kita kenal dan apa yang kita dengar selama ini, yaitu perang Afghanistan dan Perang Irak. Sampai saat ini pun, Amerika Serikat masih disibukkan dengan menghabiskan ratusan juta dollar untuk pembiayaan perang.
Perang Irak yang dimulai sejak Maret 2003, atas tuduhan Amerika Serikat terhadap Irak bahwa negara tersebut memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah massal (weapons mass destruction). Hal ini dipandang membahayakan dan merupakan ancaman bagi perdamaian dunia. Apalagi Irak selama ini dimasukkan oleh Amerika Serikat sebagai salah satu negara segitiga setan (axis of evil), bersama dengan Korea Utara dan Iran. Ini merupakan sinyal tersendiri bagi Amerika Serikat untuk segera membereskan urusannya dengan Irak, yang pada waktu itu dipimpin oleh Saddam Hussein, seorang sosok pemimpin Arab yang ambisius. Memang pasca Perang Teluk II (1991), hubungan Amerika Serikat yang pada waktu itu dipimpin oleh ayah Bush Junior, yaitu presiden George Bush, dengan Irak khususnya Saddam Hussein sedemikian tegangnya. Sehingga wajar bila pada masa setelahnya, hubungan kedua negara menjadi sangat dingin dan dipenuhi oleh rasa saling curiga.
Saat Bush Junior mendapatkan tampuk kepemimpinan, maka genderang perang dimulai. Pada bulan Maret 2003, Amerika Serikat secara resmi menginvasi Irak dengan pembenaran bahwa Irak memiliki ratusan senjata pemusnah massal. Invasi tersebut merupakan tindakan unilateral Amerika Serikat, karena kepemilikian senjata pemusnah massal ternyata tidak terbukti setelah adanya laporan dari badan atom dunia IAEA. Bahkan Dewan Keamanan PBB, setelah mengirimkan tim inspeksinya ke Irak, telah mengeluarkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal. Pada periode kedua kepemimpinan Bush, Amerika Serikat berhasil menggulingkan rezim Saddam, bahkan memberikan vonis mati kepada Saddam Hussein. Meskipun hal ini menjadi sangat kontroversial, namun berhasil ditekan oleh propaganda media-media Amerika Serikat, bahwa Saddam berhak mendapatkan hukuman mati.
Kenyataan yang pahit saat ini adalah bahwa Amerika Serikat telah menempatkan 146.000 pasukan militer. Sejak saat itu pula, ribuan warga sipil tewas akibat pertempuran yang terjadi di Irak. Ironisnya, mereka yang tewas tidak hanya kelompok kombatan yang terlibat perang, namun juga sebagian besar warga sipil Irak, termasuk para lansia, perempuan, serta anak-anak. Berdasarkan laporan PBB pada tahun 2007, terdapat 1.980 warga sipil yang tewas sejak invasi As ke Irak pada Maret 2003, sebuah angka yang mengejutkan. Ini dapat dikatakan sebagai sebuah kesalahan kebijakan Amerika Serikat yang sangat ofensif. Maka wajar kalau isu-isu tentang penarikan pasukan Amerika Serikat dapat memenangkan Barack Obama dalam Pilpres AS baru-baru ini.
Hadiah terakhir Bush
Insiden memalukan yang merupakan pertanda kenangan yang buruk atas kepemimpinana Bush Junior terjadi. Mumtaha Al-Zaidi, seorang wartawan dari harian Al-Baghdadiyah, melemparkan dua buah sepatu yang dimilikinya pada presiden Bush saat jumpa pers bersama perdana menteri Al-Maliki. Sontak, hal ini menjadi perhatian seluruh dunia. Betapa tidak, seorang presiden AS yang selama ini merupakan aktor sentral kebijakan luar negeri, mendapat lemparan sepatu.
Dalam tradisi Arab, menunjukkan tapak sepatu kepada seseorang merupakan lambang penghinaan, apalagi melemparkannya. Maka merupakan hal yang wajar kalau kita kaitkan dengan penghinaan dan ketidaksukaan rakyat Irak kepada AS, khususnya Bush, atas turut campurnya AS terhadap urusan dalam negeri Irak. Hal ini sebeneranya menunjukkan kepada kita, betapa muak dan jenuhnya rakyat Irak atas perang yang berkepanjangan dan menelan banyak korban jiwa yang merupakan rakyat sipil biasa. Tidak hanya itu saja, keamanan di Irak bukan lagi merupakan jaminan mutu bagi setiap warganya. Angka kriminalitas tumbuh pesat, tidak luput pula angka kematian akibat tindakan-tindakan heroik para pejuang Irak melalui bom bunuh diri. Rakyat Irak merasa mereka memiliki harga diri sebagai bangsa yang merdeka, bangsa yang bebas, dan bangsa yang mandiri. Perang yang dilancarkan oleh AS tidak lagi dipandang sebagai dewa penolong, justru telah dianggap sebagai duri dalam daging, yang harus disingkirkan. Hal ini terbukti, berbondong-bondong rakyat Irak pasca insiden pelemparan sepatu tersebut berunjuk rasa untuk menuntut pembebasan Al-Zaidi yang masih ditahan. Bahkan mantan pengacara Saddam Hussein bersedia untuk dijadikan kuasa hukum Al-Zaidi. Rakyat Irak menganggap tindakan Al-Zaidi tersebut merupakan tindakan heroik dan patut disebut pahlawan.
Apapun kontroversi yang timbul di permukaan atas insiden diplomatik yang memalukan ini, AS memang seharusnya mempertimbangkan dan melihat kenyataan di Irak bahwa rakyat Irak tidak menginginkan lagi kehadiran pasukan militer AS. Pakta Keamanan Bersama yang mengharuskan penarikan pasukan militer AS rampung pada 2011 memang merupakan solusi jangka pendek. Bagi Irak, AS wajib untuk tidak mendikte bahkan ikut campur terhadap urusan dalam negeri. Namun, diuar daripada itu, AS harus merubah image-nya kembali terhadap dunia internasional. Perang Irak dan Afghanistan mencitrakan AS sebagai polisi dunia dan negara yang keras. Maka merupakan suatu keharusan bagi pemimpin baru AS, Obama, untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih damai dan tanpa perang.