Friday, November 21, 2008

Pertemuan malam itu…..

Barusan saja aku merasa kembali tersenyum melihat teman-teman lama ku. Malam itu sungguh merupakan malam yang menggembirakan bagiku. Malam dengan kehangatan persaudaraan dibalut dengan hidangan yang lezat (hahaha, untung ada ilham…lho????). Aku bisa melihat dan mengingat kembali masa-masa perjuangan bersama dalam satu kawah candra dimuka yang bernama PPSDMS. Waktu 2 tahun memang teras begitu cepat berlalu. Kebahagiaan akan kebersamaan itulah yang sungguh aku dambakan. Pernah tinggal bersama orang-orang dengan latar belakang dan keunikan tersendiri, dan mereka mempunyai semangat serta gairah masing-masing untuk mengejar impiannya, termasuk mengusung cita-cita besar bangsa yang ada dipundak mereka.Semoga kebersamaan ini bukan hanya sekedar pelepas rindu akan saudara-saudaranya belaka, tetapi sebagai pengasah visi bersama dalam mambangun cita-cita besar kita, cita-cita besar PPSDMS, cita-cita pendiri bangsa, dan cita-cita Bangsa Indonesia
November 20th ,2008

Tuesday, November 18, 2008

Malam itu.....

Pernah sesekali aku melintasi jalanan di Bandung di malam hari. Memang dingin kurasa pada waktu itu.

Aku naik sebuah angkutan kota (baca:angkot)berwarna hijau, jurusan Kalapa-Dago. Mulailah kupijakkan

kakiku untuk menaiki angkot yang cukup nyaman bagiku itu.Kulihat orang-orang yang ada disampingku.

Entah siapa dan dari mana, kupikir yang penting aku sampai ketempatku dan dapat sejenak memejamkan

mata serta merebahkan badan. Bukan Bandung namanya kalo kita tidak merasakan betapa gemerlapnya

malam hari serta betapa dinginnya suasana. Sungguh, sempat terlintas dibenakku, yah aku beruntung

dapat merasakan itu semua.
Ketika angkot yang aku tumpangi berhenti tepat di persimpangan jalan, saat lampu merah, ternyata aku

merasakan sesuatu yang terlintas dibenakku. Aku melihat, betapa sedihnya ketika anak-anak yang

seharusnya mereka sudah tertidur lelap pada malam hari, itu justru bekerja demi mendapatkan sedikit

kemurah-hatian orang lain. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka ketika mereka mendapatkan uang,

senang, tertawa, dan jingkrak-jingkrak. Disaat itu aku berpikir, apa yang salah dengan hal itu. Aku

memandang sebelah mata terhadap orangtua-orangtua mereka yang tidak bertanggung jawab dan tidak

berkeprimanusiaan. Namun, ditengah aku berpikir tentang hal itu, hatiku menyahut dan berkata "Tidak

ada yang mau memilih untuk menjadi seperti itu, mengorbankan anak demi mendapat sesuap nasi". Oh

Tuhan!", sahutku. Ternyata benar juga apa yang terbesit dalam hatiku itu. Seandainya mereka memiliki

pilihan dan tentunya kesempatan yang lebih banyak, pasti mereka akan menjadi lebih rasional.
Rasionalitas memang ada, tapi bagi mereka tidak ada gunanya mempertahankan rasionalitas dengan

mengorbankan perut kosong dan air mata yang selalu mengalir dari pelupuk mata mereka setiap malam.
Ketika ditanya pada mereka, dengan polos menjawab,"Yah, mau bagaimana lagi!"
Sehingga saat itu pula aku berpikir, "kapankah ini akan berakhir?"Adakah yang memperjuangkan mereka,

bukan dengan cara mencaci maki orangtua mereka, juga bukan dengan memberikan mereka selembar uang

yang tiada berguna. Memang susah hidup jaman sekarang.......Kata-kata itu tidak jarang lagi kita dengar

saat ini. Entah dari para pengemis, padagang asongan, tukang becak, petani, buruh, pembantu dan bahkan

orang-orang yang bunuh diri. Nasib-nasib, sungguh malang nasib mereka........Pahlawan mana yang akan

datang menyelamatkan mereka????

Monday, November 17, 2008

Mimpi Hampa

Desiran angin pagi menusuk kalbu
Lambaian tetumbuhan menyentuh relung hati
Seolah ingin berkata tentang sesuatu
ya.....sesuatu yang tak tentu tiba

Aku melihat di keheningan malam
Aku meratap di kegelapan senja
Mencari sesuatu yang tak tentu rimba
Seakan memupuk harap dalam keramaian

Mimpi.........paham
ya.....pepohonan pun paham akan kehampaan itu
pucuk-pucuk dedaunan pun menyahut

Hampa......
Mereka datang tanpa pelupuk mata
Maka aku pun datang tanpa mimpi
Mimpi....
Mimpi

Obama-isme: Quo vadis Indonesia

“Segala sesuatu yang pernah dilakukan dan dipikirkan oleh manusia selalu berkaitan dengan hasrat terpendam untuk membebaskan diri dari kepahitan-kepahitan”(Albert Einstein)

“Change,we can believe in”. Kata-kata itulah yang menjadi slogan kampanye yang digembar-gemborkan oleh kandidat calon presiden dari partai demokrat, Barack Hussein Obama. Slogan ini seolah mampu menyihir sebagian besar penjuru Amerika Serikat, dari anak-anak sampai dewasa, kulit hitam maupun putih, serta kalangan muda maupun tua. Ditengah krisis finansial Amerika Serikat yang berawal dari kredit macet yang terjadi (subprime mortgadge), ternyata memang berujung pada krisis domestik AS. Hal ini, ditengarai oleh sebagian besar rakyat AS, sebagai akibat dari kebijakan Presiden Bush, yang menghambur-hamburkan anggaran negara sedemikian besarnya,yaitu 144 miliar dollar AS per bulan, hanya untuk pembiayaan operasi militer di Irak dan Afghanistan. Tidak hanya itu, pesimisme ditengah masyarakat AS semakin meluas sebagai akibat dari besarnya gelombang PHK yang terjadi di perusahaan-perusahaan milik AS, sehingga menambah jumlah angka pengangguran.
Kegagalan kepemimpinan partai republik dibawah komando George W. Bush, ternyata memeberikan angin segar bagi partai demokrat. Kesempatan emas ini merupakan sesuatu yang mengandung momentum tersendiri. Bagaimana tidak, pada periode pemilihan presiden sebelumnya,calon presiden dari partai democrat (Al Gore) tidak berhasil memenangkan pemilu, sehingga membawa Presiden Bush untuk menjabat kembali sebagi presiden untuk periode kedua. Namun hal itu tidak terjadi pada pemilu 2008 ini. Kenyataan yang sangat menakjubkan terlihat dari betapa powerful-nya kemenangan Obama dari partai demokrat, terhadap McCain dari partai republik dalam memenangkan electoral vote, yaitu 349:173 (KOMPAS,6/11). Hal ini dipandang mengejutkan banyak pihak, dimana seorang kulit hitam yang berasal dari ras Afro-Amerika, mampu memenangkan pemilu dimana mayoritas warga AS adalah kulit putih. Ini menunjukkan bahwa, pandangan-pandangan historis masyarakat Amerika Serikat tentang diskriminasi ras sudah luntur. Gagasan tentang satu Amerika yang plural, ternyata dapat dibuktikan secara jelas dalam fenomena ini.
Sekilas, dapat kita lihat bahwa terdapat pergeseran pandangan masyarakat Amerika Serikat tentang bagaimana mengemas perbedaan dalam suatu simphoni yang damai dan satu padu. Rasionalitas yang dikedepankan dalam memandang sesuatu ternyata mengalahkan sejarah gelap, dimana ras kulit hitam selalu dipandang sebelah mata. Itulah yang menggambarkan Amerika saat ini, yaitu Amerika yang memberikan kesetaraan, dan kenyamanan bagi semua warganya tanpa ada diskriminasi. Hal itulah yang dapat kita lihat dari sosok Obama. Dia merupakan seorang Amerika dari ras kulit hitam, yang bernama tengah Hussein (Timur Tengah), dan juga menghabiskan masa kanak-kanaknya di Asia (Indonesia). Semua ini menunjukkan betapa pentingnya sosok Obama bila dilihat dari segi idiosinkratiknya. Sentimen-sentimen asal-usul memang bukan lagi jaminan untuk memperoleh popularitas dalam menarik suara. Setidaknya, dalam masyarakat yang sudah rasional, pertimbangan-pertimbangan rasial bukan lagi jaminan bagi seseorang untuk bisa menarik simpati publik. Itulah yang terjadi di Amerika Serikat, seorang yang untuk pertama kalinya dalam sejarah, akan menjadi presiden Amerika ke-44 yang berasal dari kulit hitam. Bagaimana dengan Indonesia?
Quo vadis Indonesia
Sangat menarik kalau kita sempat membaca ilustrasi yang pernah digambarkan disebuah media yang berbunyi, ‘kalau Amerika butuh 200 tahun bagi ras minoritas untuk memimpin, maka Indonesia butuh berapa tahun lagi?’. Realitas itu seolah menceritakan kita, betapa masih jauh panggang dari api, untuk mengharapkan Indonesia sama seperti Amerika saat ini, khususnya dalam memilih pemimpin. Amerika merupakan negara yang sudah tua dalam penerapan demokrasi, sedangkan kita baru merasakan demokrasi yang sesungguhnya baru 10 tahun pasca reformasi tahun 1998. Namun, sebenarnya hal ini bukanlah menjadi justifikasi tersendiri bagi Indonesia untuk menuju pada sebuah perubahan paradigma masyaraktnya.
Sebagian besar masyarakat Indonesia memang relatif masih merupakan masyarakat yang berbasis tradisional. Didalam hal memilih pemimpin, tentunya sangat terlihat dan masih dirasakan bahwa alasan-alasan tentang primordial dan juga kesukuan masih menjadi faktor penentu. Betapa tidak, memang secara demografis Indonesia sebagian besar merupakan suku Jawa (60%), Sunda (15%), dan selebihnya ada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Tren-tren menuju pertimbangan yang rasional dalam masyarakat Indonesia baru terlihat di sebagian besar masyarakat kota, yang identik dengan masyarakat yang rasional dan intelek. Sedangkan ditingkat pedesaan, ikatan primordial dan tradisional masih melekat kuat, dan itu menjadi penentu yang berpengaruh bagi seseorang untuk mendapat simpati publik.
Pertanyaannya adalah, akankah masyarakat Indonesia memberikan kesempatan yang sama terhadap setiap warganya, untuk memimpin? Tentunya terlepas dari pertimbangan-pertimbangn rasial, primordial, dan juga kedaerahan. Amerika dengan Indonesia memiliki persamaan dalam hal heterogenitas komposisi penduduk dimana Amerika terdiri dari ras kulit putih (White), ras kulit hitam (Black), ras Asian-American (Asia termasuk Timur Tangah), dan juga warga hispanik (pendatang dari Meksiko dan Amerika Latin). Mitos-mitos tentang seorang presiden Indonesia harus dari orang Jawa harus dihapuskan karena hal itu justru bukanlah perekat bangsa Indonesia yang heterogen.
Memang, saat ini masyarakat kita secara perlahan menuju pada tingkat pemahaman yang lebih rasional dalam memilih pemimpin. Namun permasalahannya adalah pemahaman tersebut tidak diikuti dengan kesadaran politik yang semakin baik. Hal ini akan menimbulkan tidak efektifnya sistem demokrasi yang telah kita jalankan, terutama untuk menyaring generasi-generasi yang unggul dan potensial. Pada akhirnya, kita gagal melahirkan seorang pemimpin yang berkualitas dan handal dalam membawa bangsa ini kearah yang lebih baik. Tren Golput (Golongan putih) yang berkembang saat ini justru bukan karena semakin tingginya tingkat rasionalitas dan kesadaran politik masyarakat. Tetapi lebih kepada ungkapan kekecewaan masyarakat kecil atau “wong cilik” terhadap pemerintahan yang gagal menciptakan kesejahteraan bagi mereka.
Perwujudan Indonesia yang satu merupakan cita-cita bersama kita. Terlepas dari latar belakang apa dan siapa kita, sistem demokrasi yang ada seharusnya memberikan peluang bagi masyarakat agar mendapatkan edukasi dalam hal meningkatkan kesadaran politik dan mampu memilih secara rasional. Dalam konteks ini, kita harus mengedepankan persamaan visi dan cita-cita kita untuk membentuk negara yang “Bhineka Tunggal Ika”, serta tidak menonjolkan perbedaan-perbedaan yang ada. Karena kita sadar bahwa satu Indonesia hanya dapat dicapai dengan rasa Persatuan dan Kesatuan, serta mengedepankan prinsip non-diskriminasi.