Thursday, August 9, 2007

"Distorsi Demokrasi"

Demokrasi menekankan kepada pentingnya peran individu di dalam pemerintahan. Dalam konteks ke-Indonesia-an, maka demokrasi yang kita jalankan mengalami berbagai gelombang perubahan. Perubahan tersebut tidak terlepas dari pemerintahan yang dijalankan pada waktu tertentu. Pada era pasca kemerdekaan, kita telah mengenal beberapa istilah demokrasi yang telah kita anut, yaitu demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila (Orde Baru) dan demokrasi reformasi. Namun ada sesuatu yang menarik jika kita telaah kembali demokrasi kita saat ini. Beberapa analis mengatakan bahwa Indonesia pasca reformasi tahun 1998, sedang berada dalam era transisi demokrasi. Apabila dicermati, maka konsekuensi logisnya adalah bahwa kita masih sedang mencari model demokrasi yang sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an kita. Belum mapannya model demokrasi yang kita anut saat ini, memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan, baik berkaitan dengan suprastruktur politik, maupun infrastruktur politik. Dapat kita lihat dengan jelas bagaimana munculnya konsep semi-bikameral dengan adanya DPD RI, munculnya Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, bahkan partai-partai baru dapat dengan mudah menjamur di negeri kita ini.

Political Maturity

Partai politik merupakan infrastruktur demokrasi yang menjamin tetap berjalannya sistem pemerintahan. Sebagian besar negara-negara didunia, menganut sistem demokrasi kepartaian. Di Indonesia, tidak terlalu tabu bagi kita memahami demokrasi itu sebatas diberikannya supremasi sipil untuk membentuk sebuah partai. Sistem pemerintahan yang dijalankan telah mapan dengan komposisi partai sebagai supporting-system-nya. Tetapi, kemapanan sistem partai ini tidak berbanding lurus dengan kematangan politik (political maturity). Mengapa demikian? Adanya krisis kepemimpinan ternyata telah menjadi momok menakutkan bagi realitas kita saat ini. Proses regenerasi tidak berjalan mulus diakibatkan estafet kepemimpinan hanya dipegang oleh beberapa elite partai. Akibatnya, sangat jarang kita temukan tokoh-tokoh partai yang memang memiliki kompetensi dan kepemimpinan yang kuat, dengan kata lain siapa yang kuat dia yang dapat. Sangat beralasan apabila publik sendiri telah mengalami krisis kepercayaan (political distrust) terhadap partai politik itu sendiri.

Beberapa minggu lalu, MK telah mengeluarkan keputusan No. 5/PUU-V/2007 yang memperbolehkan calon independen untuk mengikuti pemilihan kepala daerah. Keputusan itu dapat membuka akses bagi masyarakat untuk mengaspirasikan calon pemimpin mereka tanpa harus diusung oleh partai politik. Fenomena ini cukup unik apabila kita lihat dengan jeli. Pertama, Isu tentang diperbolehkannya calon independen untuk mengikuti pilkada naik keranah publik ketika majunya calon independen pada pilkada yang diadakan serentak di Aceh pada 11 Desember 2006. Hasilnya cukup mengejutkan, calon independen memenangi kursi gubernur serta delapan kursi bupati/ walikota. Kedua, pesimisme masyarakat terhadap mekanisme pemerintahan yang dijalankan oleh orang-orang yang diusung partai cenderung meningkat saat ini. Ketiga, adanya peluang untuk diterapkannya sistem demokrasi non-partisan di Indonesia dalam jangka panjang.

Degradasi Partai

Hal yang perlu diperhatikan dalam konteks kita saat ini adalah bagaimana ketika seorang calon independen menang ditengah kemapanan sistem partai di lembaga legisatif kita. Sedangkan kenyataannya, para wakil rakyat yang ada di lembaga legislatif masih terlalu politis untuk memberikan loyalitasnya kepada kesejahteraan rakyat, bukan partai. Masih terlalu dini apabila kita mengatakan bahwa keputusan tentang calon independen sudah ideal. Keputusan tersebut baru merupakan langkah awal sehingga kedepannya masih diperlukan tentang bagaimana mekanisme dan aturan pencalonan yang jelas dapat dituangkan dalam bentuk undang-undang.

Sebuah autokritik bagi semua partai politik di Indonesia, bahwa bangsa ini sudah tidak lagi bodoh. Stagnasi terhadap proses rekrutmen partai yang justru menghasilkan orang-orang yang tidak kompeten, disorientasi paham kebangsaan, kepemimpinan yang lemah serta tidak berkarakter pada akhirnya akan membuat sebuah efek bola salju terhadap degradasi partai pada saatnya nanti. Partai politik harusnya becermin pada apa yang telah terjadi di Aceh, bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi di daerah lain. Artinya, sebelum masyarakat melepaskan secara penuh political trust-nya, partai-partai harus bisa membenahi regenerasi internal sehingga tidak mengalamai krisis penokohan.