Friday, August 21, 2009

Menyoal Pidato Kemenangan SBY

“Tanda dari seorang pemimpin yang hebat adalah kemampuannya menangkap visi, mengeluarkan pikirannya, dan membuat orang mengerti akan maksudnya (The power of vision by George Barna)”

Bangsa indonesia baru saja melewati dua pesta demokrasi besar, yaitu pemilihan umum legislatif 2009 dan pemilihan presiden 2009. Terkait dengan pemilihan presiden 2009, maka telah kita ketahui bahwa calon presiden incumbent, SBY-Boediono, mampu mengalahkan dua pesaingnya yaitu pasangan Mega-Prabowo dan Kalla-Wiranto. Kemenangan yang diperoleh pasangan SBY-Boediono pun merupakan kemenangan telak dimana lebih 60% suara sah nasional mampu didapatkan oleh pasangan ini. Angka kemenangan tersebut, secara praktis membawa SBY-Boediono kepada peiode kedua kepemimpinannya dengan hanya melewati pemilihan satu putaran.
Komisi Pemilihan Umum baru saja mengumumkan secara resmi keputusan presiden dan wakil presiden terpilihnya pada tanggal 18 Agustus 2009, sehari setelah hari kemerdekaan Republik Indonesia. Meskipun keputusan tersebut merupakan keputusan yang konsitusional, dalam prosesnya KPU telah menjalani berbagai arus mainstream politik yang begitu hangat. Telah banyak kita dengar di berbagai media tentang gugatan dari kedua belah pasangan capres-cawapres yang kalah, bahwa pemilihan presiden kali ini telah terjadi banyak kecurangan masif dan ketidak-siapan KPU untuk menyelenggarakan Pilpres yang jujur dan adil. Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi telah menolak gugatan pasangan capres yang kalah, dan menyatakan bahwa gugatan mereka tidak terbukti. Bahkan KPU sempat mendapat dorongan untuk mengundurkan diri secara terhormat oleh beberapa pihak yang merasa dikecewakan.
Pasca pengumuman dan penetapan presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU, maka kita lihat sebuah tradisi yang baru dalam dunia politik kita, yaitu pidato kemenangan presiden terpilih. Meskipun hal ini terkesan merupakan duplikasi dari proses politik yang ada di Amerika Serikat, seyogianya kita harus menghargai bahwa proses tersebut juga dirasa perlu. Betapa tidak, pidato kemenangan pasca pilpres dibutuhkan karena selama kampanye dan proses pilpres, suhu politik tentu berjalan begitu panas dan penuh dengan perang media kampanye. Pidato kemenangan merupakan momentum tepat bagi para pemimpin. Hal tersebut setidaknya dapat kita lihat atas bebrapa pertimbangan.
Pertama, bahwa pidato kemenangan tersebut mencerminkan respek yang tinggi terhadap kepercayaan yang diberikan oleh rakyat kepada calon terpilih. Terlepas dari apakah prosesi pidato diadakan secara sederhana atau gemerlap. Rakyat juga perlu diberikan penghormatan atas aspirasinya, karena pemimpin lahir atas nama rakyat dan untuk melayani rakyat. Penghormatan yang diberikan kepada rakyat menunjukkan loyalitas pemimpin terhadap rakyat akan komitmennya selama periode ke depan. Hal ini juga menunjukkan kepada rakyat bagaimana melihat profil pemimpin mereka ke depan, serta bagaimana menanamkan kepercayaan bahwa rakyat tidak salah dalam memilih pemimpin. Merupakan hal yang sepele, tetapi cukup efektif guna menumbuhkan kepercayan diri pemimpin dalam memimpin rakyat dan bahwa mereka merupakan pemimpin yang didukung oleh rakyat.
Kedua, bahwa pidato kemenangan tersebut mampu mempertegas komitmen dan tindakan ke depan yang dilakukan oleh pemimpin yang baru. Bahwa memang beberapa dari masyarakat kita sudah terkena demam anti janji kampanye sehingga seindah apapun “angin surga” kampanye yang diberikan, rakyat akan apatis. Dalam kondisi ini, maka diperlukan sebuah momentum untuk mempertegas kembali apa yang dijanjikan oleh calon presiden kita pada saat kampanye Pilpres lalu. Komitmen dan tindakan tersebut tentu merupakan rangkaian visi yang diciptakan atas kebutuhan dan tuntutan internal dan domestik yang ada. Hal ini dipandang penting mengingat banyak kasus kredibilitas dan tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menjadi semakin menurun karena pemerintah tidak mampu menjaga ritme kepercayaan publik melalui tindakan dan komitmennya dalam memimpin.
Ketiga, bahwa pidato kemenangan tersebut dapat mencerminkan komunikasi antara pemimpin dengan rakyat yang akan dipimpin. Bagaimanapun juga, komunikasi media juga diperlukan dalam teori-teori kepemimpinan. Banyak bukti yang dapat kita lihat bagaimana kuatnya pemimpin diciptakan melalui kuatnya pemberitaan dan pencitraan pemimpin kepada rakyat. Komunikasi yang dibentuk tentunya akan melahirkan rasa sense of belonging,bahwa rakyat memiliki pemimpin, dan bahwa kita merupakan bangsa yang satu. Komunikasi model seperti ini memang bukan merupakan kontrak sosial antara pemimpin dengan rakyat, tetapi lebih kepada komunikasi politik yang ditujukan untuk mendapatkan mandat dari rakyat secara tidak langsung melalui pidatonya.

Revitalisasi Isu
Pidato kemenangan SBY-Boediono pada tanggal 20 Agustus 2009, ternyata tidak hanya digunakan sebagai ajang pamer kebesaran semata. Dalam pidato yang berdurasi kurang dari 60 menit tersebut, SBY menekankan kembali revitalisasi beberapa isu terkait janji kampanye pada waktu Pilpres lalu. Pertama, bahwa SBY kembali menguatkan programnya dalam bidang pendidikan. Bidang pendidikan merupakan salah satu materi pidato SBY. Beliau kembali menekankan upaya pemerintahannya lima tahun ke depan dalam menjamin kualitas dan aksesibiltas pendidikan yang adil dan merata. Hal ini memang penting mengingat Indonesia telah jauh tertinggal dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, di bidang pendidikan. Iklan pendidikan gratis yang didengungkan pemerintah tempo lalu sudah terdengar hambar ketika ada opini-opini yang mengarah pada upaya mempolitisasi iklan pendidikan gratis tersebut. Kini saatnya bagi SBY untuk membuktikan bahwa iklan pendidikan gratis yang sempat gempar saat kampanye Pilpres, bukan hanya alat politik yang difungsikan untun mendongkrak perolehan suara semata.
Kedua, SBY menekankan pentingnya penguatan visi ekonomi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Hal ini cukup tepat digunakan dalam materi pidato kemenangan, mengingat krisis finansial global menjadikan isu-isu tentang sudut-pandang dan ideologi ekonomi menjadi perdebatan hangat dalam kampanye (ekonomi jalan tengah vs ekonomi kerakyatan). Hal ini juga mengingat bahwa potensi ekonomi Indonesia diprediksikan akan mengalami fase-fase yang menggembirakan, dimana Indonesia merupakan satu dari tiga negara di Asia, setelah China dan India, yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya dalam presentase yang positif disaat negara lain mengalami resesi ekonomi. Tidak pula salah bahwa SBY memilih Boediono yang memiliki kompetensi yang mapan dalam bidang ekonomi.
Ketiga, penguatan isu tentang reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Dua hal tersebut memang seperti dua buah sisi mata uang. Betapa tidak, kasus korupsi terbanyak ternyata melibatkan birokrat dan juga didukung oleh sistem birokrasi yang tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu, SBY menguatkan komitmennya dalam melanjutkan proses reformasi birokrasi hingga selesai pada tahun 2011. Begitu juga upaya pemberantasan korupsi melalui penciptaan sistem birokrasi yang efektif dan efisien serta kultur anti korupsi dalam lingkup publik. Hal ini juga merupakan tindakan yang tepat, mengingat Indonesia masih kalah jauh dengan Singapura dalam hal transparansi dan upaya menciptakan clean government.

Tantangan dan Realitas
Tidak dapat dipungkiri bahwa tantangan kepemimpinan SBY kedepan sangat kompleks mengingat permasalahan domestik dan juga eksternal begitu banyak yang harus diselesaikan. Mulai dari penanganan dampak krisis finansial global, isu-isu penguatan pertahanan RI, masalah penanganan bencana dan dampak kerusakan lingkungan, masalah pendidikan, masalah reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi, dan juga masalah kesehatan rakyat. Tantangan-tantangan tersebut memang memerlukan gerak langkah yang tepat dan terkordinasi sehingga tepat guna dan tepat sasaran. Rakyat telah merasakan bahwa realitas yang dirasakan saat ini menuntut pemerintah kedepan lebih proaktif dan produktif dalam menciptakan kerangka kebijakan yang mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat tanpa terkecuali. Jangan lupa pula bahwa masih ada ancaman eksistensial yang sudah diingatkkan oleh para pendahulu kita, yaitu bahaya disintegrasi dan separatisme. Tentunya memerlukan penyelesaian yang tegas dan damai untuk menyelesaikan permasalahan ini. Bangsa kita adalah bangsa yang ber “Bhineka tunggal Ika”, berbeda-beda tapi tetap satu jua. Bagaimana pemimpin kita kedepan, yaitu SBY-Boediono mampu memimpin dalam corak ke-Bhineka-an namun tetap menciptakan kebijakan yang mencerminkan ke-Eka-an.
Bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang satu dan bangsa yang besar. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mandiri dan bermartabat. Bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa MERDEKA. Pemimpin kita harus mampu menumbuhkan kesadaran tersebut terhadap rakyatnya tidak terkecuali.