“Segala sesuatu yang pernah dilakukan dan dipikirkan oleh manusia selalu berkaitan dengan hasrat terpendam untuk membebaskan diri dari kepahitan-kepahitan”(Albert Einstein)
“Change,we can believe in”. Kata-kata itulah yang menjadi slogan kampanye yang digembar-gemborkan oleh kandidat calon presiden dari partai demokrat, Barack Hussein Obama. Slogan ini seolah mampu menyihir sebagian besar penjuru Amerika Serikat, dari anak-anak sampai dewasa, kulit hitam maupun putih, serta kalangan muda maupun tua. Ditengah krisis finansial Amerika Serikat yang berawal dari kredit macet yang terjadi (subprime mortgadge), ternyata memang berujung pada krisis domestik AS. Hal ini, ditengarai oleh sebagian besar rakyat AS, sebagai akibat dari kebijakan Presiden Bush, yang menghambur-hamburkan anggaran negara sedemikian besarnya,yaitu 144 miliar dollar AS per bulan, hanya untuk pembiayaan operasi militer di Irak dan Afghanistan. Tidak hanya itu, pesimisme ditengah masyarakat AS semakin meluas sebagai akibat dari besarnya gelombang PHK yang terjadi di perusahaan-perusahaan milik AS, sehingga menambah jumlah angka pengangguran.
Kegagalan kepemimpinan partai republik dibawah komando George W. Bush, ternyata memeberikan angin segar bagi partai demokrat. Kesempatan emas ini merupakan sesuatu yang mengandung momentum tersendiri. Bagaimana tidak, pada periode pemilihan presiden sebelumnya,calon presiden dari partai democrat (Al Gore) tidak berhasil memenangkan pemilu, sehingga membawa Presiden Bush untuk menjabat kembali sebagi presiden untuk periode kedua. Namun hal itu tidak terjadi pada pemilu 2008 ini. Kenyataan yang sangat menakjubkan terlihat dari betapa powerful-nya kemenangan Obama dari partai demokrat, terhadap McCain dari partai republik dalam memenangkan electoral vote, yaitu 349:173 (KOMPAS,6/11). Hal ini dipandang mengejutkan banyak pihak, dimana seorang kulit hitam yang berasal dari ras Afro-Amerika, mampu memenangkan pemilu dimana mayoritas warga AS adalah kulit putih. Ini menunjukkan bahwa, pandangan-pandangan historis masyarakat Amerika Serikat tentang diskriminasi ras sudah luntur. Gagasan tentang satu Amerika yang plural, ternyata dapat dibuktikan secara jelas dalam fenomena ini.
Sekilas, dapat kita lihat bahwa terdapat pergeseran pandangan masyarakat Amerika Serikat tentang bagaimana mengemas perbedaan dalam suatu simphoni yang damai dan satu padu. Rasionalitas yang dikedepankan dalam memandang sesuatu ternyata mengalahkan sejarah gelap, dimana ras kulit hitam selalu dipandang sebelah mata. Itulah yang menggambarkan Amerika saat ini, yaitu Amerika yang memberikan kesetaraan, dan kenyamanan bagi semua warganya tanpa ada diskriminasi. Hal itulah yang dapat kita lihat dari sosok Obama. Dia merupakan seorang Amerika dari ras kulit hitam, yang bernama tengah Hussein (Timur Tengah), dan juga menghabiskan masa kanak-kanaknya di Asia (Indonesia). Semua ini menunjukkan betapa pentingnya sosok Obama bila dilihat dari segi idiosinkratiknya. Sentimen-sentimen asal-usul memang bukan lagi jaminan untuk memperoleh popularitas dalam menarik suara. Setidaknya, dalam masyarakat yang sudah rasional, pertimbangan-pertimbangan rasial bukan lagi jaminan bagi seseorang untuk bisa menarik simpati publik. Itulah yang terjadi di Amerika Serikat, seorang yang untuk pertama kalinya dalam sejarah, akan menjadi presiden Amerika ke-44 yang berasal dari kulit hitam. Bagaimana dengan Indonesia?
Quo vadis Indonesia
Sangat menarik kalau kita sempat membaca ilustrasi yang pernah digambarkan disebuah media yang berbunyi, ‘kalau Amerika butuh 200 tahun bagi ras minoritas untuk memimpin, maka Indonesia butuh berapa tahun lagi?’. Realitas itu seolah menceritakan kita, betapa masih jauh panggang dari api, untuk mengharapkan Indonesia sama seperti Amerika saat ini, khususnya dalam memilih pemimpin. Amerika merupakan negara yang sudah tua dalam penerapan demokrasi, sedangkan kita baru merasakan demokrasi yang sesungguhnya baru 10 tahun pasca reformasi tahun 1998. Namun, sebenarnya hal ini bukanlah menjadi justifikasi tersendiri bagi Indonesia untuk menuju pada sebuah perubahan paradigma masyaraktnya.
Sebagian besar masyarakat Indonesia memang relatif masih merupakan masyarakat yang berbasis tradisional. Didalam hal memilih pemimpin, tentunya sangat terlihat dan masih dirasakan bahwa alasan-alasan tentang primordial dan juga kesukuan masih menjadi faktor penentu. Betapa tidak, memang secara demografis Indonesia sebagian besar merupakan suku Jawa (60%), Sunda (15%), dan selebihnya ada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Tren-tren menuju pertimbangan yang rasional dalam masyarakat Indonesia baru terlihat di sebagian besar masyarakat kota, yang identik dengan masyarakat yang rasional dan intelek. Sedangkan ditingkat pedesaan, ikatan primordial dan tradisional masih melekat kuat, dan itu menjadi penentu yang berpengaruh bagi seseorang untuk mendapat simpati publik.
Pertanyaannya adalah, akankah masyarakat Indonesia memberikan kesempatan yang sama terhadap setiap warganya, untuk memimpin? Tentunya terlepas dari pertimbangan-pertimbangn rasial, primordial, dan juga kedaerahan. Amerika dengan Indonesia memiliki persamaan dalam hal heterogenitas komposisi penduduk dimana Amerika terdiri dari ras kulit putih (White), ras kulit hitam (Black), ras Asian-American (Asia termasuk Timur Tangah), dan juga warga hispanik (pendatang dari Meksiko dan Amerika Latin). Mitos-mitos tentang seorang presiden Indonesia harus dari orang Jawa harus dihapuskan karena hal itu justru bukanlah perekat bangsa Indonesia yang heterogen.
Memang, saat ini masyarakat kita secara perlahan menuju pada tingkat pemahaman yang lebih rasional dalam memilih pemimpin. Namun permasalahannya adalah pemahaman tersebut tidak diikuti dengan kesadaran politik yang semakin baik. Hal ini akan menimbulkan tidak efektifnya sistem demokrasi yang telah kita jalankan, terutama untuk menyaring generasi-generasi yang unggul dan potensial. Pada akhirnya, kita gagal melahirkan seorang pemimpin yang berkualitas dan handal dalam membawa bangsa ini kearah yang lebih baik. Tren Golput (Golongan putih) yang berkembang saat ini justru bukan karena semakin tingginya tingkat rasionalitas dan kesadaran politik masyarakat. Tetapi lebih kepada ungkapan kekecewaan masyarakat kecil atau “wong cilik” terhadap pemerintahan yang gagal menciptakan kesejahteraan bagi mereka.
Perwujudan Indonesia yang satu merupakan cita-cita bersama kita. Terlepas dari latar belakang apa dan siapa kita, sistem demokrasi yang ada seharusnya memberikan peluang bagi masyarakat agar mendapatkan edukasi dalam hal meningkatkan kesadaran politik dan mampu memilih secara rasional. Dalam konteks ini, kita harus mengedepankan persamaan visi dan cita-cita kita untuk membentuk negara yang “Bhineka Tunggal Ika”, serta tidak menonjolkan perbedaan-perbedaan yang ada. Karena kita sadar bahwa satu Indonesia hanya dapat dicapai dengan rasa Persatuan dan Kesatuan, serta mengedepankan prinsip non-diskriminasi.
Monday, November 17, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment