Thursday, October 22, 2009

Oposisi versus ‘Penyeimbang’ : Quo Vadis PDI-P ?

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) merupakan partai ketiga terbesar, pemenang Pemilu 2009. Pasca Pemilu 2004, melalui keputusan di Rakernas PDI-P di Bali awal tahun 2005, PDI-P mengokohkan posisinya sebagai kekuatan oposisi pemerintahan, yang pada waktu itu dipimpin oleh SBY-JK. Hal ini praktis mengundang banyak perhatian, dimana untuk pertama kalinya sistem demokrasi di Indonesia mengenal kata partai oposisi. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ternyata praktek-praktek ke-oposisi-an PDI-P tidak ditunjukkan secara maksimal dan berani. PDI-P pada waktu itu cenderung hanya sebagai kritikus kebijakan SBY-JK, tanpa memberikan solusi kerakyatan dan juga alternatif-alternatif kebijakan selaku partai oposisi. Arah kebijakan partai pun masih konservatif, dimana pengaruh ketokohan Megawati Soekarno Putri masih begitu kentalnya mengiringi segala gerak langkah PDI-P. Sebagai contoh adalah kontroversi kebijakan kenaikan harga BBM pada masa SBY. PDI-P tidak memainkan fungsi oposisinya dengan baik, terlihat dari justifikasi-justifikasi yang dilakukan PDI-P yang membandingkan pemerintahan zaman Mega dengan pemerintahan zaman SBY. PDI-P dalam hal ini malah mengambil berkah pencitraan terhadap masyarakat sehingga partai ini dianggap memang tidak lupa akan khitah-nya sebagai partai wong cilik.

Pemilu 2009 merupakan momentum politik sekaligus pesta demokrasi yang besar bagi keberlangsungan Indonesia di lima tahun mendatang. Oleh karena itu,dirasa wajar ketika banyak partai berbondong-bondong melakukan sosialisasi, politik pencitraan, dan juga mengintensifkan pola komunikasi politik yang elegan dan populer di kalangan masyarakat, tidak terkecuali PDI-P. Pemilu legislatif 2009 mengantarkan partai berlambang banteng bermoncong putih ini sebagai partai pemenang pemilu ketiga setelah Partai Demokrat dan Partai Golkar. Pasca Pemilu legislatif 2009, maka konstelasi politik semakin berkembang dengan adanya friksi-friksi partai yang akan bersaing dalam Pemilihan Presiden beberapa bulan ke depannya. Megawati sebagai ketua umum PDI-P, merupakan sosok tunggal yang diusung PDI-P sebagai calon presiden 2009-2014. PDI-P tidak main-main dengan pengusungan ketua umumnya, Megawati, sebagai calon presiden. Bahkan PDI-P jauh-jauh hari telah berani melakukan sosialisasi politik melalui DPD dan DPC PDI-P se-Indonesia. Pengusungan Megawati sebagai capres ini tentu telah melalui keputusan Rakernas PDI-Perjuangan di Bali pada awal tahun 2009 lalu. Pilpres 2009 tidak berhasil mengabulkan ambisi PDI-P untuk memegang tampuk kekuasaan tertinggi sebagai eksekutif. Capres usungan PDI-P dan Partai Gerindra, Megawati-Prabowo, hanya menempati posisi kedua setelah kemenangan capres incumbent SBY-Boediono, yang mendapatkan presentasi kemenangan lebih dari 60% total suara sah pemilih. Hal ini merupakan kekalahan kedua bagi Megawati, melawan SBY dalam pemilihan presiden langsung yang dipilih oleh rakyat. Seiring dengan telah dilantiknya SBY-Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2009-2014, pada 20 Oktober 2009, maka ada pertanyaan mendasar tentang arah kebijakan PDI-P lima tahun mendatang. Apakah PDI-P akan mengulang sejarahnya pada tahun 2004 dimana mengumumkan dirinya sebagai partai oposisi?

‘Kekuatan Penyeimbang’ ala PDI-P
Akan kemanakah arah kebijakan PDI-P pada lima tahun mendatang ? Pertanyaan tersebut cukup menarik dimana preseden yang ada pada tahun 2004 menegaskan bahwa PDI-P sebagai partai oposisi. Sedikit berbeda dengan 2004, tahun 2009 ini publik sempat mempertanyakan kecenderungan PDI-P yang tidak secara tegas dan segera menyatakan dirinya sebagai partai oposisi. Hal ini wajar saja mengingat beberapa pertimbangan.

Pertama, bahwa adanya tingkat perbedaan yang mendasar antara elite internal partai, mengenai posisi PDI-P mendatang. Hal ini mengingat pula bahwa pengalaman PDI-P sebagai partai oposisi pada tahun 2004-2009, ternyata tidak mampu mendongkrak popularitas dan juga mempertahankan konstituen partai, sehingga partai ini gagal dalam memenangi Pemilu legislatif dan Pilpres 2009. Pandangan tersebutlah yang membuat sedikit pemikiran elite PDI-P, untuk mulai menjajaki sebagai partai non-oposisi, dengan kata lain ikut dalam pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari semakin intensifnya komunikasi politik antara Partai Demokrat dengan PDI-P menjelang suksesi kepemimpinan dalam MPR. Komunikasi tersebut mengantarkan Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR RI periode 2009-2014.

Kedua, bahwa Partai Demokrat telah menanamkan hutang budinya kepada PDI-P dalam proses suksesi pemilihan ketua MPR RI 2009-2014. Bahkan, hal tersebut juga membuka kedekatan antara Taufik Kiemas selaku Ketua Dewan Penasehat PDI-P dengan SBY selaku Presiden RI sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Dalam proses kompromistis dan konsensus tersebut, tentu terdapat sejumlah kesepakatan-kesepakatan internal antara Partai Demokrat dan PDI-P. Kesepakatan-kesepakatan tersebut lah yang berhasil memperlunak sikap dan arah kebijakan PDI-P, sehingga hanya berani menegaskan posisi mereka sebagai kekuatan penyeimbang dan kekuatan pengontrol, bukan koalisi ataupun oposisi.

Ada satu hal yang dapat dilihat dalam kasus ini, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa sistem demokrasi hanya mengenal dua istilah, rulling party dan oposition. Merupakan sesuatu yang dilematis bagi PDI-P tentang sikapnya yang melunak. Disatu sisi, PDI-P ingin mempertahankan posisi dan jaraknya dengan kekuasaan. Namun disisi lain, hutang budi PDI-P terhadap SBY membuat betapa lunaknya sikap partai merah ini. Terlebih, ketika kata oposisi tidak lagi digunakan sebagai trademark partai sebagaimana pada tahun 2004. Indonesia masih membutuhkan sistem demokrasi yang transparan dan berkualitas. Sistem demokrasi yang transparan merupakan pengejawantahan dari profesionalitas kinerja kabinet, sedangkan sistem demokrasi yang berkualitas merupakan pengejawantahan dari sistem check and balance yang ditandai dengan adanya oposisi. Hal ini sangat diperlukan, mengingat Indonesia yang saat ini masih relatif berada pada masa transisi demokrasi, sehingga pembelajaran politik yang baik bagi masyarakat untuk menampilkan sistem demokrasi yang transparan dan berkualitas.

No comments: